Aku merangkum keseluruhan kalimat yang diwariskan hujan. Di pelataran, pemakaman dan pikiran lengang. Kalimat itu seperti jalinan serat yang dituang dalam sebuah surat. Bukan wasiat. Hanya serangkaian pesan hikmat.
Pesan tentang pelataran yang kuyup tergenang, untuk mengeruhkan kenangan agar tak banyak membuat bulu tengkuk meremang. Kau seorang pemenang, jadi untuk apa meratapi perginya sepotong bintang. Sedangkan di tanganmu tergenggam harapan yang setara dengan jutaan cahaya kunang-kunang.
Pesan juga pada pemakaman yang belum sempat menggali banyak lubang sementara jenazah berbaris rapi dalam keadaan mati. Berikut juga duri-duri. Tumbuh meruyak di kedalaman hati. Mengingat apa saja yang laknat. Sebelum penguburan diselesaikan dengan penuh siasat.
Pada pikiran lengang. Kosong dan sama sekali tak berusaha berdendang. Tak ada lagu-lagu penghiburan untuk para pesakitan yang berdiam di kepala. Yaitu pikiran yang berlagak lupa. Juga lupa yang pura-pura dipikirkan. Supaya terlihat itu adalah perhatian. Dari potongan masa silam yang mengganjal. Kepada masa depan yang terlihat janggal.
Semua kalimat warisan telah diurai. Namun rupanya masih juga belum usai. Ada lagi pesan dari hujan yang menunggu dilahirkan. Warisan pesan masih akan terus berdatangan. Selama cuaca tidak terus-terusan dijungkir balikkan.
Bogor, 3 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H