Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Meniupkan Ruh pada Tubuh Puisi

1 Desember 2018   15:52 Diperbarui: 12 Desember 2018   17:20 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak mungkin rasanya sebuah puisi berjalan lurus tanpa ada jeda atau perhentian. Kita yang membaca akan ngos-ngosan kehabisan nafas. Selain itu, tanda baca sangat berguna untuk memberikan pertanda kepada pembaca. Puisi ini adalah kombinasi dari berbagai tarian. Bukan hanya semacam gerak badan.

3.   Situasi hati Pereka Puisi
Ini semestinya diletakkan dalam poin 1. Namun saya kemudian berpikir ulang tidak secara normatif. Mungkin hal yang paling penting sebaiknya diletakkan di bagian paling belakang saja. Supaya terjadi klimaks yang mewah dan bukan cuma menjadi remah-remah yang selintas saja dijamah.

Situasi hati saat seseorang mereka sebuah puisi adalah bagian terbesar dari nyawa yang ditiupkan ke tubuh puisi. Di saat orang itu kelelahan, saya menggaris bawahi lelah di sini adalah lelah fisik dan bukan cape hati, maka puisi yang dihasilkan alhasil akan juga kuyu dan terhuyung-huyung.

Saat orang itu dalam suasana hati yang sehat, nyaman dan dipenuhi adrenalin, baik adrenalin surga maupun neraka, maka ruh yang ditiupkan dalam tubuh puisi akan sangat kuat dan tidak gampang dicabut kembali.

Ini seolah sebuah proyeksi jiwa. Ruh dari sebuah puisi akan terpantul kuat dan nyaris sama dengan suasana hati sang pereka. Semakin kuat jiwanya, akan semakin dahsyat puisinya. Tidak percaya? Tak apa. Saya sendiri sangat mempercayainya.

Akhirnya
Sebuah puisi akan hidup dengan sukses jika ditiupkan ruh yang sesuai. Tidak disarankan dalam membuat puisi seolah mengerjakan soal ujian. Kening berkerut, alis bertaut, mulut merengut.

Tidak! Memberikan ruh pada puisi akan lebih mudah jika dalam prosesnya kita menyerahkan diri secara totalitas pada ekspresi yang dikehendaki otak kita.

Sambil jalan mondar-mandir, ngedumel tidak karuan, berteriak-teriak, memandangi langit seolah orang oon, mengikuti pergerakan semut dengan teliti, dan masih banyak lagi. Semua diserahkan kepada anda.

Karena dalam mereka dan memberi ruh pada puisi, andalah tuhannya.

Jakarta, 1 Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun