Ini hari puisi. Ketika kata demi kata dinobatkan menjadi raja. Menguasai panggung yang didirikan di atas tulang sungsum para penyair, yang lalu tergeletak lemas kehabisan nafas. Meneriakkan keadilan yang terlahir di zaman purba, nyaris punah di zaman kegelapan, lantas terkelupas tuntas di zaman milenia, menjadi sekarung basah beras.
hari ini kalimat-kalimat yang sebelumnya basi karena lupa dipanasi. Mendadak sepulen nasi yang baru dipanen di ladang-ladang tak beririgasi. Dimajaskan oleh para penyair berbakat dari lahir, mahir maupun kenthir. Tak jadi apa. karena kalimat-kalimatnya berubah menjadi dewa. Penjaga kuburan, pencabut nyawa dan penjemput kematian.
jarang sekali ada dewa yang menjeritkan bahagia. Karena bahagia adalah satu kata yang rupanya hanya ada di surga. Di dunia? Itu hanyalah sekedar permainan lidah dan mata belaka. Mengaku dan diaku. Mengaku tak berduka dan diakui sebagai yang berbahagia. Itu saja.
hari ini. Ludah bercipratan dari para pemuja tanda baca. Koma adalah ketika sekujur urat syaraf bergetar. Memberikan kabar menggelegar tentang dunia yang semakin pengar. Sedangkan titik adalah perhentian utama dari keseluruhan perjalanan. Berhenti. Lantas mati.
sementara titik koma adalah sebuah ruangan yang disediakan begitu lapang bagi orang-orang yang tidak menyukai akhir, namun tahu bahwa semuanya pasti akan berakhir, dan pada akhirnya benar-benar berakhir.
Perhelatan pada hari ini tentu saja bukan sunatan. Memenggal ujung yang tak dikehendaki. Untuk kemudian meliarkan yang tersisa. Menjadi laluan dosa-dosa.
Puisi bukan dosa. Namun yang jelas sudah menjadi sisa-sisa. Dari peradaban yang nyaris binasa.
Karena pada kenyataannya, semua orang lupa lalu saling memangsa.
Bogor, 18 Nopember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H