Gian Carlo mengayuh sepedanya dengan santai. Menuruni kaki Gunung Salak dengan sama sekali tak tergesa-gesa. Otaknya sudah merancang segala rencana. Apa yang harus dilakukannya dalam beberapa hari ke depan.
Menyewa paragliding, membawanya ke puncak bukit belakang padepokan, menyusup saat malam, lalu mencari kesempatan mencuri manuskrip. Cara keluarnya? Pasti ada cara dan akan lebih mudah daripada masuknya. Gian Carlo sudah bisa membayangkan rekeningnya menggemuk. Robert Van Der Meer membayarnya sangat mahal untuk manuskrip itu.
Sejenak Gian Carlo menghentikan sepedanya. Di depan ada keramaian. Entah apa. Dia sudah hampir sampai ke jalan raya. Gian Carlo mendekat sambil menuntun sepedanya. Rupanya ada insiden kecelakaan. Sepeda motor tersenggol mobil yang hendak berbelok masuk.
Mobil yang menyenggol itu berombongan. Terlihat 2 mobil lainnya terparkir tak jauh dari tempat kejadian. Orang-orangnya tidak ada yang turun. Hanya dari mobil yang terlibat saja sopirnya turun. Mencoba meredam massa. Orang-orang saling berteriak memanasi suasana. Padahal sepeda motor yang tersenggol pun sudah diamankan dan pengemudinya juga tidak apa-apa.
Gian Carlo kagum pada ketenangan sopir itu. Berdiri tegap di depan massa yang sepertinya mulai terhasut oleh provokasi. Merangsek maju. Hendak menghakimi si sopir yang berulangkali meminta maaf sekaligus mau bertanggung jawab.
Gian Carlo penasaran pada apa yang akan dilakukan sopir yang masih saja bersikap tenang meskipun massa mulai nampak beringas. Beberapa orang mencoba memukulnya. Dengan sigap dan terlatih sopir itu mengelak. Sambil terus saja berusaha meyakinkan orang-orang untuk bersabar. Tapi layaknya segerombolan orang yang mudah sekali disulut emosinya, orang-orang terus saja mendesak si sopir.
Mungkin karena melihat keadaan semakin berbahaya, pintu-pintu mobil itu akhirnya terbuka. Keluarlah beberapa orang kekar dan bersenjata dari dalamnya. Salah seorang malah menembakkan senjatanya ke atas. Dor! Dor!
Sontak massa berhamburan ketakutan. Berlarian ke segala arah. Salah seorang pimpinan rombongan mobil itu memberi isyarat kepada yang lainnya untuk melanjutkan perjalanan. 3 mobil itu menderu melewati Gian Carlo yang masih tercengang dengan kejadian tadi.
Itu pasti bukan rombongan wisata. Tidak mungkin orang berwisata membawa-bawa senjata. Selintas pikiran membuat kening Gian Carlo berkerut. Saat mereka turun tadi, sekilas mata Gian Carlo yang tajam melihat sebuah kesamaan. Sebuah tato kecil kepalan tangan di sisi leher kanan.
Gian Carlo meraih gawainya. Mencari-cari sesuatu pada foto-foto spesial di gallerynya. Hah! Ini dia! Tato itu ciri khas Trah Maja!