Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ketika Lautan Dikeringkan Seorang Perempuan

17 November 2018   19:28 Diperbarui: 17 November 2018   19:46 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada sebuah lautan yang tidak lagi diasinkan garam. Tumbuh bulu mata dan sorot mata suram. Ditanam oleh lebatnya airmata. Dari perempuan yang mempertuan dukanya. Sebagai maharaja.

Gelombang yang ada tidak lagi dilahirkan angin. Namun berasal dari patahnya ingin. Terhadap pemandangan cantik lumba-lumba yang saling berlomba. Tertutupi kehendak melihat badai dan buih ombak saling menimpa.

Warna lautan tak lagi nampak biru. Sebab pada permukaannya dilabur pekatnya abu-abu. Dari sebuah hati yang berenang pada lukanya sendiri. Atas nama kesaksian terhadap rasa kesakitan akan sunyi.

Perempuan itu lupa pada garis tipis yang disebut cakrawala. Padanya terdapat barisan tegas rima. Matahari, kejora dan semua sekutunya.

Perempuan itu lupa pada sebuah tempat yang disebut pesisir. Padanya telah menunggu istana pasir. Sebagai tempat baginya mengadakan perjamuan. Atas hadirnya cinta tak berkesudahan.

Bogor, 17 Nopember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun