Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Reinkarnasi (Bab 20)

17 November 2018   09:43 Diperbarui: 17 November 2018   10:06 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Reinkarnasi (Bab 19)

Untuk sementara biarlah seperti ini. Tidak ada kegaduhan. Tidak diikuti kekacauan. Hidup rasanya begitu sederhana. Tapi bahagia. Raja membatin sambil tak henti mengunyah nasi dan lauk yang dimasak oleh Citra.

Raja nyaris tersedak. Sayur ini asin sekali! Sambalnya juga! Padahal lauknya adalah potongan ikan asin. Raja menguatkan diri terus mengunyah dan menelan makanan itu karena di hadapannya Citra begitu menikmati setiap kunyahan Raja dengan senyuman yang tulus dan hangat. Citra sekaligus ingin tahu sebenarnya. Kalimat pujian apa yang akan keluar dari mulut Raja atas masakannya.

"Uenak banget! Aku belum pernah merasakan masakan seenak ini selain masakan ibuku di rumah." Raja memuji sambil memicingkan kedua matanya. Pura-pura kepedasan. Padahal sedang menahan rasa asin di ujung lidahnya sekuat tenaga.

Citra tersenyum lebar. Dari wajahnya yang berseri gembira, Raja tahu bahwa dia berhasil menyenangkan hati gadis reinkarnasi itu. Raja ikut tersenyum. Tidak lebar. Karena senyumnya adalah nyengir keasinan.

Para tetangga di sini mengenali mereka sebagai pasangan suami istri muda dari kota yang kembali ke desa untuk memulai kehidupan barunya. Menjadi pasangan petani yang rajin bekerja di sawah sedari pagi dan pulang di sore hari.

Citra memerankan diri sebagai istri secara sempurna. Pagi-pagi menyapu halaman, memasak di dapur yang masih menggunakan tungku, menyiram kembang dan tanaman. Pada siang harinya mengantar ransum makan siang bagi Raja yang masih berada di sawah. Entah mengapa, Citra begitu menikmatinya. Mungkin karena Raja.

Sementara Raja tidak kalah menariknya dalam memerankan diri sebagai pak tani. Setiap pagi memanggul cangkul dan menggiring sapi, menyiangi rumput, membenahi pematang hingga mendekati tengah hari, lalu bersantai melepas lelah sembari menunggu Citra datang membawa masakan. Masakan yang nyaris setiap harinya keasinan. Raja aktor yang sangat sempurna untuk yang satu ini. Menikmati asin tanpa harus lagi memicingkan mata.

Hmm, Citra harus belajar masak dari ibuku. Secepatnya. Kalau tidak lidahku akan mati rasa.

Sementara Sin Liong yang berperan menjadi pedagang toko kelontong juga sukses menjalankan perannya. Seharian melayani pembeli yang berjubel dari ujung ke ujung desa. Tokonya sangat laris. Sampai-sampai mirip dengan antrian bioskop kalau pagi hari.

Ibu-ibu dan gadis-gadis bergerombol belanja. Siapa yang tidak suka berbelanja dan dilayani engkoh ganteng yang wajahnya sangat cool. Fiuuhhh.

Saat malamlah Sin Liong menampakkan siapa dirinya yang sesungguhnya. Pemuda ini menutup toko kelontongnya selepas Isya dan menghilang di kegelapan. Apalagi yang dilakukannya kalau bukan memata-matai pesanggrahan Trah Maja yang kini telah dikelilingi tembok kukuh dengan penjaga berpatroli selama 24 jam.

Sin Liong hanya memantau perkembangan. Sampai saatnya tepat untuk mengajak Raja dan Citra yang sedang menikmati kehidupan petani mereka.

Sin Liong tidak tahu kapan. Dia hanya menunggu kabar dari Babah Liong. Menurut papanya, situasi semakin runyam. Banyak pihak yang melibatkan diri dengan serius. Tidak hanya Trah Maja dan Trah Pakuan yang sekarang saling intai. Tapi beberapa pihak lain juga. Dari negeri Cina bahkan! Begitu kata papanya.

----

Gian Carlo mengamati dengan teropongnya sambil bersembunyi di balik batu besar. Aktifitas di padepokan mewah itu cukup ramai. Beberapa mobil berjajar di halaman parkir. Termasuk mobil yang tadi dibuntutinya.

Hmm, 4 meter! Gian Carlo memperkirakan tinggi pagar yang mengelilingi padepokan. Orang Itali ini juga yakin, beberapa lapis kawat tipis yang melilit tembok sejak dari ketinggian 3 meter hingga penampang atasnya adalah kawat listrik tegangan tinggi. Gian Carlo mencoret kemungkinan menyusup melalui dinding tembok.

Beberapa penjaga nampak berjaga di gerbang depan. Lewat gerbang juga tidak mungkin. Gian Carlo terus menggerakkan binokulernya. Mencari celah terbaik sekaligus memetakan banyaknya kemungkinan.

Nah! Mungkin itu jalan satu-satunya! Teropong Gian Carlo berhenti pada puncak bukit tinggi agak jauh di belakang padepokan. Jika melihat ketinggian dan jaraknya, paragliding rasanya layak untuk dicoba. Saat malam tentu saja.

Hanya saja dia harus melumpuhkan penjaga di belakang yang standby di puncak sebuah menara. Dan itu harus dilakukannya sembari melayang di udara. Gian Carlo terus menulis di buku kecilnya. Rencananya harus matang. Kalau tidak, bisa-bisa dia hilang di tempat terpencil ini. Tanpa seorangpun tahu.

----

Hoa Lie dan Feng Siong meminta Kapten Sandro dan anak buahnya berdiam saja dalam mobil. Sambil memulihkan kondisi, mereka juga bisa memantau keadaan di luar. Berjaga-jaga. Siapa tahu orang-orang yang menyerang mereka tadi datang mengganggu. Kapten Sandro yang masih merasa lemas hanya menggangguk. Racun ini benar-benar menjengkelkan. Gerutu Kapten Sandro sambil menggenggam pistolnya erat-erat.

Dengan langkah berhati-hati, kedua utusan dari Cina itu mendekati pintu rumah.

"Masuklah. Pintu tidak dikunci," terdengar suara parau dan berat dari dalam rumah.

Hoa Lie dan Feng Siong saling berpandangan. Rupanya mereka sudah ditunggu. Feng Siong melonggarkan sarung pisau terbangnya. Hoa Lie memindahkan pistolnya ke dalam saku jaket. Supaya lebih mudah meraihnya. Mereka tidak tahu siapa yang di dalam. Bisa saja itu orang-orang yang menyerang mereka tadi.

"Tinggalkan senjata kalian. Aku tidak menyukai ada senjata di dalam rumahku," kembali suara parau itu terdengar. Tegas.

Hoa Lie memberi isyarat kepada Feng Siong. Gadis itu melepas jaket dan meletakkannya di balai bambu teras rumah. Feng Siong memegang handel pintu.

"Pisau-pisau itu juga anak muda. Ini peringatan terakhir," suaranya kali ini terdengar begitu dalam. Mendekati marah.

Feng Siong terperangah. Orang di dalam itu tahu semua. Gila! Feng Siong menggerutu sekaligus kagum.

Setelah dengan terpaksa menanggalkan semua senjata, Feng Siong dan Hoa Lie membuka pintu rumah, masuk dan menutupnya kembali perlahan. Mereka disambut wangi dupa yang sangat menusuk hidung. Wangi yang sangat aneh karena membuat mereka seperti sedang tidak menapak tanah. Melayang. Mencengkeram pikiran mereka ke dalam sebuah bayang-bayang kengerian sekaligus kegembiraan. Hoa Lie dan Feng Siong serasa berjalan di atas awan. Sepertinya hendak terjatuh tapi sesuatu yang absurd menahan mereka.

Hoa Lie dan Feng Siong menggelosoh pingsan. Dengan wajah tersenyum namun dahi berkerut.

Beberapa orang muncul dari keremangan ruangan. Mempergunakan masker. Menggotong tubuh Hoa Lie dan Feng Siong. Memasuki sebuah ruangan bawah tanah rahasia. Kabut asap dupa lenyap dengan cepat. Menyisakan ruangan yang bersih. Seorang tua berwajah keras dengan rambut abu-abu digelung, duduk bersila di tengah ruangan. Bersamadi dengan tenang. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Di luar. Kapten Sandro hanya sempat menyaksikan Hoa Lie dan Feng Siong masuk ke dalam rumah. Lalu semuanya menjadi hening.

Mungkin mereka sedang melakukan investigasi diam-diam. Aku akan menunggu saja di sini sampai mereka keluar. Kapten Sandro memejamkan mata. Tidak sadar ada beberapa orang mengendap-endap di belakang mobil sambil memegang sepasang tutup kepala.

Bogor, 17 Nopember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun