Dengan langkah berhati-hati, kedua utusan dari Cina itu mendekati pintu rumah.
"Masuklah. Pintu tidak dikunci," terdengar suara parau dan berat dari dalam rumah.
Hoa Lie dan Feng Siong saling berpandangan. Rupanya mereka sudah ditunggu. Feng Siong melonggarkan sarung pisau terbangnya. Hoa Lie memindahkan pistolnya ke dalam saku jaket. Supaya lebih mudah meraihnya. Mereka tidak tahu siapa yang di dalam. Bisa saja itu orang-orang yang menyerang mereka tadi.
"Tinggalkan senjata kalian. Aku tidak menyukai ada senjata di dalam rumahku," kembali suara parau itu terdengar. Tegas.
Hoa Lie memberi isyarat kepada Feng Siong. Gadis itu melepas jaket dan meletakkannya di balai bambu teras rumah. Feng Siong memegang handel pintu.
"Pisau-pisau itu juga anak muda. Ini peringatan terakhir," suaranya kali ini terdengar begitu dalam. Mendekati marah.
Feng Siong terperangah. Orang di dalam itu tahu semua. Gila! Feng Siong menggerutu sekaligus kagum.
Setelah dengan terpaksa menanggalkan semua senjata, Feng Siong dan Hoa Lie membuka pintu rumah, masuk dan menutupnya kembali perlahan. Mereka disambut wangi dupa yang sangat menusuk hidung. Wangi yang sangat aneh karena membuat mereka seperti sedang tidak menapak tanah. Melayang. Mencengkeram pikiran mereka ke dalam sebuah bayang-bayang kengerian sekaligus kegembiraan. Hoa Lie dan Feng Siong serasa berjalan di atas awan. Sepertinya hendak terjatuh tapi sesuatu yang absurd menahan mereka.
Hoa Lie dan Feng Siong menggelosoh pingsan. Dengan wajah tersenyum namun dahi berkerut.
Beberapa orang muncul dari keremangan ruangan. Mempergunakan masker. Menggotong tubuh Hoa Lie dan Feng Siong. Memasuki sebuah ruangan bawah tanah rahasia. Kabut asap dupa lenyap dengan cepat. Menyisakan ruangan yang bersih. Seorang tua berwajah keras dengan rambut abu-abu digelung, duduk bersila di tengah ruangan. Bersamadi dengan tenang. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Di luar. Kapten Sandro hanya sempat menyaksikan Hoa Lie dan Feng Siong masuk ke dalam rumah. Lalu semuanya menjadi hening.