seorang wanita tua bersimpuh dan berjinjit memakai tongkat. Membersihkan rumput yang menyemak kuat. Pada nisan patah yang menghilangkan nama penghuninya. Juga gundukan kecil tanah yang nyaris rata. Hanya sedikit menyisakan ujung berkarat sebuah sangkur. Milik suaminya yang telah lama gugur.
ditanaminya tanah yang hambar dengan bibit kemangi. Dalam pikirannya yang sekian lama ditumbuhi sunyi, wangi kemangi akan membuat pekuburan itu tidak sepi.
suaminya bukanlah jendral ataupun kopral. Tapi lebih dahulu mati demi mempertahankan sepetak sawah yang hendak dirampas secara brutal. Oleh para penjajah yang sering menyebut diri mereka sebagai penziarah. Padahal sesungguhnya tak lebih dari penjarah. Para pengkhianat sejarah.
orang-orang menyebut suaminya adalah pahlawan. Satu dari sekian banyak tulang-tulang yang terkuburkan, berhamburan, dan berserakan, bagi jengkal demi jengkal tanah yang dipertahankan. Pada sebuah negeri yang belum dilahirkan. Namun dipercaya kelak akan menjanjikan kemakmuran. Bagi anak cucunya yang juga belum sempat dilahirkan.
wanita tua itu menyingkirkan rumput terakhir. Dari sudut mulutnya lirih menggumamkan takbir. Mungkin tahun depan dia tak bisa kesini lagi. Membersihkan makam suaminya sembari menikmati wangi kemangi.
mungkin dia tak lama lagi juga akan mati. Dikubur di sini. Di pekuburan sepi. Bersama suaminya menyanyikan lagu Bagimu Negeri.
Bogor, 9 Nopember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H