Seorang lelaki dan ibunya. Berbincang tentang masa lalu. Tentang anak-anak pakis yang tumbuh di lantai kebun karet. Dijadikan alas tidur malam. Setelah perutnya kenyang. Melalap pucuk-pucuknya yang muda.
Lelaki itu menatap ibunya. Bertanya apakah bisa bertukar kabar. Kelak saat ibunya tiada. Ibunya hanya tersenyum. Menyiratkan iya lebih dari semestinya. Lelaki itu ikut tersenyum. Menjanjikan ibunya sebuah surga. Dari doa-doa yang hendak dipanjatkan ke langit malam. Setiap malam.
Lelaki itu memandangi foto ibunya. Menyentuh keriput di matanya yang dulu begitu sibuk berairmata untuknya. Lelaki itu memanggul doa-doanya kembali. Doa-doanya tak jua mau pergi. Selalu saja tercekat di ulu hati.
Lelaki itu lupa bagaimana cara mengeja. Tak tahu juga bagaimana cara mengirimnya. Doa-doanya mati sebelum dikuburkan. Doa-doanya hilang sebelum ditemukan.
Lelaki itu membayangkan wajah ibunya. Wajah yang selalu berdoa untuknya. Ketika dia mulai memasuki kepadatan malam. Tersesat dalam kelam. Setelahnya tak ingat jalan menuju pagi. Lalu mengubur dirinya sendiri dengan senang hati.
Lelaki itu membasahi ujung bibirnya. Dengan jeritan membabi-buta. Teringat surga yang dijanjikan kepada ibunya. Tapi dia benar-benar tak tahu cara menepatinya.
Pekanbaru, 7 Nopember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H