Kemarau mengeringkan jantungku yang cuma satu. Aku tak keberatan asal tak sampai menjadi abu. Aku masih membutuhkannya untuk berdebar. Terutama untuk sebuah kabar dan seikat mawar.
Sebuah kabar darimu bahwa bahagia sedang bertamu. Duduk di serambi lalu berbagi mimpi. Menjelaskan kepadamu alasan kenapa lama tak hendak bersua. Katanya dia cuma punya satu alasan saja. Pada pintu rumahmu tertera; tamu yang diterima hanya khusus duka.
Aku menitipkan seikat mawar. Aku letakkan di halaman rumahmu yang nyaris terbakar oleh dingin. Buka ikatannya dengan hati-hati. Mawar itu masih utuh beserta akarnya. Jangan letakkan di vas bunga. Tapi tanamlah di sebelah rumpun melati. Kau akan tahu apa artinya nanti.
Hujan bertubi-tubi mengakibatkan air bah di hati. Menggulung semua kenangan menjadi satu prasasti. Aku tak keberatan asal jangan sampai tenggelam lalu mati. Hati ini masih aku perlukan untuk mencintai. Senja juga pagi.
Mencintai senja mesti dengan cara-cara tak biasa. Karena mencintainya sendiri bukanlah hal yang biasa. Senja adalah contoh terbaik sebuah keistimewaan. Darinya aku bisa memilah manakah ratapan dan yang mana kerinduan.
Mencintai pagi yang selalu mempersembahkan ornamen cantik dan harapan. Aku bisa mempersiapkan apa yang mesti dilakukan. Dari pagi lah aku percaya. Hari ini akan berakhir seperti apa. Apakah bergula atau bercuka. Atau malah bergaram karena kebanyakan airmata.
Bogor, 5 Nopember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H