"Mendung, kau tadi begitu ganas menghujaniku bertubi-tubi. Sudah seharusnya kau melakukan hal yang sama kepada mereka. Mereka berniat merebut purnama. kau sadar itu?"
Angin dan mendung saling berpandangan. Bersepakat pada satu hal. Keduanya kembali beraksi. Cumulonimbus pekat secara tiba-tiba menguasai langit yang telah memudarkan gerhana dan mengembalikan tubuh purnama pada tempatnya semula.
Mendung pekat itu mengeluarkan pekikan-pekikan keras berupa guntur dan hujan. Jauh lebih keras dari apa yang telah dilakukannya padaku tadi. Mungkin karena ini untuk menghajar banyak orang, pikirku.
Sedangkan angin membesarkan tubuhnya menjadi raksasa. Badai serta-merta menguasai suasana. Pohon-pohon besar yang sudah renta bertumbangan. Tiang-tiang listrik saling melilit dengan kabelnya. Atap-atap rumah beterbangan. Badai sebesar ini pasti bisa mengusir mereka, girangku.
Semua orang bubar berlarian. Lupa pada cintanya terhadap purnama. Masing-masing berusaha menyelamatkan diri. Berteduh dan berlindung di tempat-tempat yang sekiranya kokoh dan kuat. Aku semakin senang. Aku berhasil mengadu domba mereka atas nama cinta.
Tak lama lagi begitu hujan berhenti dan badai mati, aku akan kembali menguasai.
Aku tersenyum dengki. Tapi bibirku tak bergerak sama sekali. Aku mau tertawa terbahak-bahak, namun mulutku sulit sekali terbuka. Aku ingin menari-narikan kemenangan, tapi tubuhku begitu kaku. Aku tak sanggup melakukan apa-apa. Nafasku telah membeku.
Hipotermia mengantar semua cemburuku dalam kematian yang gagu.
Bogor, 4 Nopember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H