Tidak ada yang lebih baik dari malam yang pekat. Semua orang bisa melihat. Ketika kami menari-narikan cahaya tak ubahnya persembahan ritual di panggung upacara para dewa.
Sambil bernyanyi dengan bahasanya sendiri, rombongan kunang-kunang itu berhenti untuk mengerumuni rumpun melati di sebuah halaman rumah yang penghuninya sudah terlelap di balik selimut hangat.
Kecuali sepasang mata cerah yang berbinar-binar. Dari seorang gadis kecil yang sedang menikmati keterpanaan pada munculnya dongeng yang sering didengarnya sebelum tidur. Kunang-kunang menari dengan riang di depan matanya. Sungguh menyenangkan!
Gadis kecil yang dipanggil Aisyah itu terus saja memaku dirinya di jendela yang sengaja dibuka. Dia tak ingin melepas kesempatan langka ini. Musim kunang-kunang tidak lagi sama. Sudah lama sekali kejadian seperti ini ada. Bertahun-tahun yang silam.
Dulu, ibunya sering mendongeng tentang betapa cantiknya tarian kunang-kunang. Sebelum akhirnya ibunya terbang melayang dan menjelma menjadi kunang-kunang, begitu terang neneknya setiap kali dia bertanya di mana gerangan ibunya berada. Saat itu usianya tak lebih dari 5 tahun.
Ayahnya juga sering mengajaknya berjalan-jalan di taman jika sedang musim kunang-kunang. Menyuruhnya mengejar mereka dan ikut menari bersama-sama. Sampai kemudian ayahnya menelepon dari rumah sakit dengan nada lemah dan mengatakan akan menunggu Aisyah di surga. Waktu itu Aisyah sudah beranjak ke usia 7 tahun.
Sekarang usianya sudah 10 tahun. Waktu yang cukup bagi Aisyah untuk paham bahwa ayah dan ibunya sudah mendiang.
Aisyah tetap tak mau melepaskan tatapan dari pasukan kunang-kunang yang kini terbang rendah menyelimuti rerumputan. Matanya yang semula bercahaya, mulai digenangi airmata. Terharu. Dia yakin ibunya berada di antara mereka. Dia juga percaya, ayahnya sedang berbisik di telinga agar dia menari bersama ibunya. Bersama mereka semua.
Aisyah tidak sadar bahwa selama dirinya bersandar di jendela, sekumpulan lampu taman dan jalanan mencoba memancing perhatian. Malam sedikit berkabut lembut. Sehingga lampu-lampu itu seolah berkedip manja. Indah sekali. Namun perhatian Aisyah tak bergeming sama sekali.
Lampu-lampu itu sudah lama menemani Aisyah yang rutin termenung di jendela yang terbuka. Mereka selalu memperhatikan gadis mungil cantik yang sering menerawang memandang langit itu. Bertahun-tahun mereka menjadi saksi bagaimana pandangan mata Aisyah yang nanar dan datar. Seolah tak punya emosi sama sekali.
Tapi kali ini berbeda. Gadis kecil itu begitu terhanyut terbawa perasaan. Lampu-lampu itu paham karena apa. Dan mereka cemburu. Selama ini mereka selalu berusaha menghibur. Dengan berbagai macam cara dan upaya.
Saat malam berhujan-hujanan, lampu-lampu itu bertingkah riang. Memancing Aisyah supaya ikut senang. Tapi yang terjadi sebaliknya. Aisyah malah menutup daun jendela. Meringkuk rapat-rapat di ranjangnya. Hujan mengingatkannya akan kerinduan.
Ketika malam sedang cerah ceria, lampu-lampu itu beratraksi segala rupa. Mempertontonkan pertunjukan cahaya yang menakjubkan. Namun Aisyah hanya melihat sekilas. Setelah itu justru mengambil kanvas dan kuas. Melukis bintang-bintang yang pucat pias.
Manakala purnama tiba, lampu-lampu berusaha lebih keras lagi agar bisa mengambil hati gadis yatim piatu itu. Memamerkan cahaya yang tak kalah dengan purnama. Lagi-lagi Aisyah cuma tertegun sejenak. Lalu melanjutkan membaca buku-buku yang disukainya.
Hal yang ditunggu-tunggu selama ini oleh lampu-lampu itu tiba. Aisyah melampiaskan semua ekspresi wajahnya. Tersenyum dengan bulat. Tertawa lepas. Lalu melahirkan mutiara di sepanjang pipinya. Inilah yang sedari dulu ditunggu.
Tapi semua bukan karena lampu. Itulah sebabnya lampu-lampu itu jatuh dalam cemburu. Baru kali ini terjadi lagi musim kunang-kunang. Mendadak saja Aisyah dijatuhkan dalam pesona. Kunang-kunang tak tahu adat! Begitu datang langsung mengambil alih Aisyah. Benar-benar tak beradab.
Lampu-lampu sama sekali tidak tahu. kunang-kunang adalah ikatan terkuat Aisyah pada ayah dan ibunya. Kenangan yang tak pernah berkarat. Mengingatkan Aisyah akan kegembiraan, kesedihan, dan juga cinta kasih.
----
Rombongan kunang-kunang hendak beranjak pergi. Masih ada beberapa rumah lagi yang harus dikunjungi. Itu tugas mereka. Menyalakan lagi api cinta.
Sebelum pergi. Rombongan kunang-kunang itu kembali bernyanyi.
Tidak ada yang lebih menyenangkan jika bisa membuat orang-orang senang. Terutama bagi mereka yang lebih banyak menekuri kepedihan. Perjalanan tak terasa sia-sia. Meski tak lama lagi kami akan meredup semua. Menjadi serangga kecil biasa.
Aisyah mengikuti dengan sepenuh matanya. Kunang-kunang melakukan tarian terakhir. Persis di pot-pot bunga di bawah jendela. Tarian yang ritmik dan epik. Seolah berpesan khusus kepadanya; Ayo Aisyah! Kembalilah berbahagia.
Aisyah seakan-akan bisa mendengar mereka. Sambil melepas kepergian kunang-kunang yang makin menjauh. Bibirnya bergetar menjawab pesan nyanyian, juga dengan nyanyian; terimakasih kunang-kunang. Terbanglah kemana kamu suka. Tolong jaga ibuku di antara kalian. Jangan lupa datang lagi saat musim kalian kembali tiba. Aku akan menari bersama kalian. Seperti pesan ayahku bertahun yang silam.
Mendengar nyanyian Aisyah yang bahkan sanggup membuat langit bersimpuh lumpuh, kecemburuan lampu-lampu taman dan jalanan seketika runtuh. Serentak mereka menunduk. Semua cahaya diredupkan. Bersimpati dalam-dalam kepada Aisyah. Gadis kecil yang mengangankan musim kunang-kunang datang. Hanya karena ingin sekali mengenang. Apa arti sebuah kebahagiaan.
Lampu-lampu itu sama sekali tak sadar. Aisyah melambaikan tangannya kepada mereka. Berterimakasih melalui tatapan matanya.
Bogor, 2 November 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H