Perut lapar menggeram-geram
di perempatan jalan yang lebih disibukkan pada keterburuan
;emak aku lapar, adakah makanan?
seorang anak tampan yang didandani kekumalan tarzan menatap seberang jalan dengan mata penuh permintaan
Mata melotot marah dari orang yang disangka emak
sembari mengacungkan bungkusan makanan untuk jam tiga sore kelak
;kerja dulu! Berapa sudah hasilmu?!
teriakan tak bersuara memancar dari mata yang terlanjur tersusun dari sayatan sembilu
Si anak tampan melanjutkan menadahkan telapak tangan. Padanya hanya ada dahsyatnya ketakutan dibanding tajamnya kelaparan.
----
Dengan kaki terpincang-pincang kesakitan
meletakkan alat musik seadanya di pangkuan
;paman, kakiku lelah amat. Bolehkan jeda sedikit untuk istirahat?
seorang bocah perempuan cantik yang mukanya sengaja dikotori lumpur hitam meminta dengan sangat kepada lelaki separuh baya yang membeliakkan putih matanya seolah buta.
Tiba-tiba saja lelaki yang mengaku paman itu bisa melihat
pandang matanya seolah menyiratkan kiamat
;teruskan! Apakah kau pikir makanmu selama ini gratisan?!
kalimat tajam yang mengiris luka lebih dalam terhambur dari lingkaran mulut kelam.Â
Si bocah perempuan kembali memainkan alat musik dan berdendang. Hanya dengan begitulah kakinya yang kesakitan bisa terlupakan.
----
Drama-drama di jalanan. Seringkali dipanggungkan. Di sekeliling kita yang malah sering memuntahkan makanan. Hanya karena hambar atau kepedasan.
Simalungun, 24 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H