Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Sebelum dan Sesudah Hujan Tiba

10 Oktober 2018   20:04 Diperbarui: 10 Oktober 2018   20:21 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin. Sebelum hujan tiba. Kita baik-baik saja. Meneduhkan matahari di para-para rumah. Supaya terhindar dari amarah. Matahari yang kegerahan biasanya hilang perawakan. Lantas menyemburkan panas berkerontangan.

Sekarang kita memunguti kemarau. Di sebuah dangau di tepian danau. Sembari melihat angsa sedang mengumpulkan kedamaian. Sekaligus keberanian. Simbol pengumuman perang terhadap peperangan.

Kita masih baik-baik saja. Sewaktu senja mulai menutup muka. Enggan melihat betapa rindu yang tertunda ternyata banyak sekali menumbuhkan kepundan yang siap meledakkan kata-kata, bunyi-bunyian, dan tari-tarian.

Kata-katanya bersajak tentang jarak. Bunyi-bunyiannya persis suara sunyi. Tariannya dipanggungkan oleh para perambah hati.

Setelahnya. Kita bertukar tatapan lewat suitan senja yang beranjak renta. Hati lalu ikut menua. Lantas kita sadar ini mulai tidak baik-baik saja.

Kita harus memperbaikinya segera. Begitu hujan mulai tiba.

OKI, 10 Oktober 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun