Pada dada gunung itu kau menyandarkan kelelahan
setelah sekian lama kau rebus sendiri dalam pikiran
menyerupai kawah, lavanya merah meruah
tak beda dengan sawah, lumpurnya hitam tertumpah-tumpah
lava itu caramu berjalan
menyusur setapak sambil bergumam
seandainya merah meruah itu adalah keberanian
sudah lama aku merajam kesunyian
lumpur itu caramu berdiam
merenungi setiap titik perjalanan
dengan beberapa persinggahan
kesemuanya adalah jebakan mematikan
Pada bibir lautan itu kau melepaskan segenap teriakan
gelegarnya melebihi tabrakan karang
mirip titanic yang cepat sekali tenggelam
namun menyisakan teramat banyak kesakitan
titanic itu pada mulanya setangguh keinginan
melayari setiap pelabuhan yang disinggahi
dengan memberi tanda mata
suka cita dari puncak mimpi
kesakitan itu lebih akrab dari seorang sahabat
menjadi pori-pori yang menguras setiap tetes keringat
menjadi sepasang lubang hidung yang menguapkan nafas tersendat
atas segala takdir yang dulunya sering kau anggap sebagai siasat
Pada apa sekarang kau hendak melemparkan pinta
agar cinta tak pergi begitu saja
pada langit yang kini begitu sulit didaki?
atau pada bumi yang kehabisan tanah untuk digali?
Kepada Tuhan? Itu bukanlah sekedar pinta
segeralah menyusun kata dan berkirim doa
Palembang, 8 Oktober 2018
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H