Diberangkatkan kenyataan, kau lalu berjalan dalam khayalan, pada saatnya berakhir sebagai lamunan.
Itu karena aku, sebagai penyuka senja, sekaligus pecinta ufuk, terlambat menyadari siklus perjalanan matahari. Aku pikir senja tersedia begitu saja di atas meja. Sedangkan ufuk menjelang seperti biasa saja di balik jendela.
Kau berasal dari reruntuhan masa lalu. Dijerang hingga matang oleh waktu. Dihidangkan sebagai kelezatan sesajian. Pada sekian tumpuk ramuan kenangan.
Itu karena aku, memasang sumbu, pada peledak yang sesungguhnya telah mati suri, kemudian mendekatkannya dengan api, dari saripati kepundan kawah yang menggelegak. Nyaris bergolak.
Kau adalah sebuah hologram. Terpantul dari cermin retak yang kembali disulam. Ditambal kuat-kuat menggunakan airmata yang bergetah. Agar tak lagi-lagi mudah tumpah.
Dipulangkan lamunan, kau lalu datang mengisi cawan, tempatku minum saat tercekatnya tenggorokan.
Â
Bogor, 1 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H