Dari sekian banyak percakapan yang pernah kita bincang, hanya beberapa yang bisa kuingat dengan matang.Â
Salah satunya adalah ketika kita berbincang tentang sebuah negeri yang terlahir dari rahim matahari, dirawat oleh api, disusui tulang-tulang, dan dibesarkan kunang-kunang. Negeri yang dulu dikisahkan pernah tenggelam lalu mengapung kembali karena terangkat oleh banyaknya darah berkubang-kubang.
Lainnya tentu saja saat kita memperbincangkan negeri yang berenang di pekatnya halimun. Banyak hal yang tak kelihatan namun sebenarnya membahayakan. Mungkin sisi tajam sebuah kelewang. Atau pucuk tombak mematikan. Atau jurang menganga yang terlihat seperti surga. Itu sinonim dengan orang-orang yang dengan sengaja menusuk sendiri lambung negerinya.
Kita juga sempat berbicara tentang negeri yang dirundung para perundung. Negeri yang mau tak mau dipaksa murung. Hanya mampu berlindung pada kesepakatan. Antara nasib dengan kenyataan. Negeri yang pasrah. Tapi sama sekali tak melupakan tugasnya menyediakan air bagi sawah-sawah.
Terakhir kita bercerita tentang negeri yang tertawa. Setelah para pemimpinnya saling bertukar mata. Melemparkan tatapan bersama-sama. Kepada rakyatnya sambil berkata;
tahta hanya istilah semata
singgasana cuma kursi yang dipahat kuasa
negeri ini lebih dari sekadar menitipkan tembuni
lebih dari itu sebagai tempat menggurat kehebatan sebuah mimpi
bukan agar diingat sebagai pahlawan
namun karena sejak lahir memang kita ditakdirkan berkawan
di negeri yang dipinang awan dan hujan
menjadi mempelai yang bersama menghadapi badai
di segala keadaan ceruk maupun landai.
Selanjutnya tak usah kita berbincang lagi. Negeri ini ternyata tahu bagaimana mencari bahagianya sendiri.
Bogor, 1 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H