Kau tergelincir di ujung titian bambu. Barangkali itulah yang disebut menemui pilu. Kau bergegas bangkit. Rasa sakit hanyalah terjemahan sedikit dari keseluruhan pahit.
Kau teruskan berjalan menimang perasaan. Di ujung sana telah menunggu seseorang. Â Siap berbincang. Tentang apa saja. Terutama tentang kerinduan yang sama persis dengan cuaca. Memanaskan muka. Juga mendinginkan isi kepala. Terkadang malah membasahi pipi. Bila bukan dengan airmata. Tentulah dengan sunyi yang bernyanyi-nyanyi.
Di beranda kau bertemu muka dengan passiflora yang terlambat mekar. Setelah berhari-hari terkapar. Meminta disirami kepastian. Yang dihujankan malah keraguan. Tapi memang begitulah dunia jika berkilas balik. Seringkali malah terjungkir tak bisa balik.
Kau menuangkan segelas brandy pada gelas kopi. Kau ingin sedikit memanaskan tenggorokan. Dengan mencampur keberanian dan hal yang dipertentangkan orang. Bisa jadi itu sesuatu yang tabu. Tapi bagimu itu jalan berliku yang ditaburi paku.
Mesti berjingkat pada mulanya. Namun setelah terbiasa, kau memiliki beberapa cara seperti jaksa ketika berhadapan dengan perkara. Tak usah merubah air muka, yang terpenting bagaimana cara menyampaikan kata-kata.
Sesungguhnya itu bukan sandiwara. Sebab sandiwara itu panggung yang mengada-ada. Sedangkan panggungmu adalah punggungmu ketika berlalu. Dadamu saat kau menuju.
Tanpa sedikitpun ragu.
Bogor, 1 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H