Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terima Kasih untuk "I Love You-mu"

30 September 2018   16:37 Diperbarui: 30 September 2018   19:35 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wanda menutup mukanya yang sembab begitu ibunya lewat di ruang makan.  Pura-pura mencari sesuatu yang terjatuh dari piring sarapannya. Selamat! Ibunya tak memperhatikan.

Semalaman gadis itu menangisi seseorang. Bukan, tepatnya menangisi kenangan akan seseorang. Orang itu hilang. Bukan, bukan hilang. Tepatnya menghilang!

Lelaki yang diam-diam dicintainya itu pergi entah kemana. Selepas kuliah lelaki itu raib tak berjejak. Mungkin itulah yang dinamakan moksa. Wanda tersenyum kecut.

Salahnya sendiri. Dia adalah perempuan tradisional yang tak pandai menyampaikan isi hati. Lelaki itu terlihat jelas menaruh perasaan kepadanya. Sejak lama. Sejak mereka praktek lapangan di sebuah tempat berpantai yang panas, namun terasa sangat sejuk bagi mereka berdua.

Setiap hari, setelah menyelesaikan praktek lapangan seharian, Wanda dan Jaka, begitu nama lelaki itu, selalu menghabiskan waktu berdua. Memotret kehidupan di desa-desa pelosok, sekaligus menangkap seperti apa sesungguhnya alam yang masih murni dan jauh dari campur tangan pusaran kekuasaan akan uang.

Kehidupan desa sangat menarik perhatian. Alam yang asli dan asri begitu memukau mata dan hati.  Terutama pantainya yang begitu menawan. Wanda dan Jaka seperti sepasang kecomang yang bermain-main di pasir. Mencari tempat persembunyian terbaik. Sebelum lidah gelombang menjilat paksa kehadiran mereka kembali ke lautan.

Mereka berdua mempunyai kesukaan yang kurang lebih sama. Sama-sama mudah iba. Sama-sama gampang berlinangan mata. Bila melihat sesuatu yang menusuk rasa. Wanda dan Jaka juga sama-sama penggila puisi, sajak dan apa saja yang berkaitan dengan sastra.

Kalau sudah sampai pada tema itu, Jaka akan duduk diam seperti batu sambil menggoreskan sesuatu di kertas yang seadanya ditemukan. Sementara Wanda sibuk memperhatikan, sambil berdebar menebak puisi apa lagi yang dicipta lelaki yang sering dijulukinya pemuda tengil itu.

Dari sanalah sebetulnya magnet itu menarik mereka ke pusaran cinta. Wanda mengakui, selain tengil Jaka punya beberapa kelebihan yang unik. Romantis itu biasa. Mistis itu banyak yang lainnya. Kritis juga bukan sesuatu yang luar biasa. Jaka punya sesuatu di luar itu. Pemuda itu mudah nekat sekaligus gampang sekali patah. Aneh!

Wanda gelagapan! Ibunya tahu-tahu sudah berdiri di depannya. Entah untuk berapa lama. Mungkin saja dari tadi. Sejak Wanda mulai menelusuri jejak kenangan yang berbuah lamunan.

"Kenapa nak? Sepertinya ada yang mengganggu pikiran? Ibu takut kamu kesurupan karena Ibu lihat kamu sedari tadi cengengesan, senyum-senyum sendiri. bahkan Ibu sempat mendengar kamu menyumpah kecil tak karuan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun