Perempuan itu menyeduh kopi panas di pagi yang dingin. Membubuhkan tuba sebagai pemanis rasa hidupnya yang berangin. Dia tak ingin apa-apa. Selain berdansa dengan hujan yang tak kunjung tiba. Di setiap bulirnya dia yakin akan dibasahi bahagia.
Seekor kenari sedari tadi menjadi saksi. Mengamati. Perempuan itu sesungguhnya hanya lupa. Bahagia tak jauh darinya. Di lembaran-lembaran puisi yang menyertai setiap dengkurnya. Di bait-bait sajak yang menemaninya setiap kali nafas dieja.
Perempuan itu meraih putus asa di gagang cawan. Berusaha meminumnya dalam sekali tegukan. Ini pahit yang terakhir. Sebelum dia memaksakan datangnya takdir.
Burung kenari itu terperanjat. Melesat bagaikan kilat. Cawan itu terjatuh. Kepingannya menyentuh hati perempuan itu yang seketika luruh. Jika semua keyakinannya runtuh. Untuk apa selama ini menggunungkan peluh. Demi buah hati. Demi kedatangan mimpi yang sangat dinanti.
Perempuan itu bangkit berdiri. Sembari mendidihkan hati. Mengepalkan tatapan. Menyalakan senyuman.
Dunia ini terlalu kecil untuk diratapi. Lebih baik dia memanggang matahari. Bagi kehangatan anak-anak yang nyaris kehilangan harapan. Setelah disungkurkan oleh takdir kesendirian.
Bogor, 30 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H