Aku pikir mungkin kau dipahat dari patahan pualam. Â Secercah saja senyuman, kau sanggup mendidihkan malam. Sedikit lagi tambahan celcius, pupus sudah yang disebut keindahan lintang kemukus.
Tentu saja aku sebelumnya tak paham. Â Ternyata kau memang sulingan nilam. Â Wangimu lekat pada tilam. Â Tempat kita menidurkan harapan. Â Agar terbangun dalam bentuk kenyataan.
Kesinilah sebentar. Kita bertukar kelakar. Tentang lelucon tak lucu langit yang mendadak ungu. Lebam setelah dilempar bunga sepatu. Oleh orang-orang yang berteriak minta hujan. Tapi yang dikirimkan justru bunga-bunga kapas berjatuhan.
Bunga-bunga kapas itu membentuk salju di rambutmu. Â Kau seperti terbuat dari perunggu. Â Di sebuah etalase yang khusus memajang manekin rindu.
Dari kemungkinan apalagi kau terbuat? Anyaman kata sepakat? Bahwa bulan terantuk pada bibirmu yang memucat? Lalu terjatuh lintang pukang memeluk keinginanmu yang memadat?
Untuk yang ini, aku juga ikut sepakat.
Aku rasa. Kau ini terbuat dari lusinan kata-kata. Berjajar di antara barisan tentara terrakota. Mengacungkan tombak tajam siap menikam. Dengan kalimat-kalimat yang kau suapi kehangatan hati suam-suam.
Untuk yang ini, aku tangkupkan kedua belah tangan.
Kau ternyata terbuat dari kesungguhan.
Bogor, 28 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H