Kita sampai pada sebuah tempat yang bergerak lambat. Â Tak ada percepatan di sini. Â Semua seolah mampat dan sunyi.
Bahkan mungkin jarum jam telah begitu mandul. Â Tak sanggup lagi melahirkan angka demi angka. Supaya semuanya berputar seperti semula.
Waktu rupanya telah menjadi yatim piatu. Â Tersasar kesana kemari tak tentu.Â
Aku tak mau waktu mencari pengasuh yang keliru. Â Seperti misalnya batu. Â Waktu akan mengeras layaknya cadas. Â Kita yang menjalaninya tentulah akan mudah kebas terkelupas.Â
Apalagi jika pengasuhnya kabut. Â Banyak hal akan luput. Â Segalanya menjadi samar. Â Baik dan buruk hanya perkara sabar dan nanar.
Aku masih menunggumu menyampaikan sesuatu. Â Apapun itu. Â Agar kita tak terlibat lagi dengan banyaknya pertanyaan yang tersimpan. Â Di setiap detak waktu yang berjalan.
Selanjutnya kita cuma punya berlimpah jawaban.Â
Karena kita memutuskan menjadi kesimpulan. Â Bukan tubuh dan pikiran yang tersusun dari berbagai kecemasan. Â Induk semang dari keraguan.
Selayaknya segera kita berdoa. Â Tak usah mengharap apa-apa. Â Semua doa selalu didengarkan oleh Yang Berhak. Â Meski kadangkala jawabannya adalah tidak.
***
Jakarta, 25 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H