Hatiku sedang berdebaran di hadapan laut yang berdeburan. Gelombangnya meminta air agar semakin tinggi. Dia hendak menyapu kesunyian dengan bunyi-bunyian. Sunyi mesti hengkang atau dia yang nantinya akan lekang.
Hujan tiba dengan segala kemasannya yang mulia. Suara, tak ada orkestra sebagus paduan suara hujan. Partitur yang dibuat di surga, dikirimkan ke dunia agar bisa membuat bahagia. Terutama bagi hati yang mengering, dedaunan yang menguning dan retakan tanah yang berdenting.
Mataku melakukan perjumpaan dengan pertemuan. Yaitu air yang mengaliri jalanan seperti pawai, mengairi sungai seolah gerakan badai, mengisi ceruk menganga, juga mempertontonkan indahnya tarian muara.
Menikmati hujan, di batas senja yang hampir menghilang. Seakan duduk di pelataran sembari dikipasi wangi bunga-bunga yang ditumbuhkan oleh kesungguhan. Segar dan memikat. Debar pun makin mengikat.
Hujan memang dikemas sedemikian rupa sehingga kita baru menyadarinya setelah beberapa jeda. Meninggalkan jejak-jejak dingin dan berangin. Mengingatkan kita tentang keinginan yang pada akhirnya sering keanginan.
Memang sudah semestinya begitu. Kita ini hanya bisa berharap. Keputusan bisa saja menjauh atau mendekat. Tergantung seberapa kuat kita bertekat.
Bogor, 23 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H