Pada tepian laut pasang kita julurkan kaki. Â Sekedar dijilati lidah ombak yang menjulur-julur rapi. Â Mencari tempat yang tepat untuk memecahkan buih. Â Perjalanan panjang menjinjing gelombang sangat membuatnya letih.
Kau sedikit menggigil. Â Aku lalu terpanggil. Â Mengalungkan hangat dari nafasku yang memberat. Â Mudah-mudahan itu cukup bagimu. Â Aku belum bisa menyalakan lampu. Â Senja sedang tak mau.
Bau garam yang kuat membuat semua hambar yang kita bawa langsung saja menguar. Â Kita harus berterimakasih sampai puncak kesungguhan. Â Kepada pesisir dan lautan. Â Atas segala kebaikan yang didermakan tanpa meminta pembayaran.Â
Mereka hanya meminta kita baik-baik saja. Â Setelah sekian banyak memainkan drama.
Di mana-mana hambar selalu berkawan dengan pudar. Â Kita tak mau berlama-lama menggenggam rasa itu. Â Kau takut dicengkeram pilu. Â Aku cemas hatiku membatu. Â Lalu kita sama-sama menjelma arca yang beku.
Angin datang! Â Begitu juga hujan! Â Apa yang mesti kita lakukan. Â Bersembunyi bukan pilihan. Â Berteduh bukan alasan. Â Lebih baik kita sambut angin dengan menyampaikan keinginan. Â Lebih bagus kita songsong hujan sembari memanjatkan doa, agar kekeringan hanya singgah sebentar sebagai lamunan.
Mereka datang dalam rangka bertanya. Â Apakah kita baik-baik saja.
Kita tak harus menjawabnya.
Bogor, 17 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H