Inilah jawaban yang kau cari. Atas pertanyaan yang kau reka sendiri. Kau menggugat rasa tak percaya. Terhadap semua rencana kota menyingkirkan adab. Sungguh rumit jika harus beradab. Terlalu sulit untuk tidak biadab. Kota adalah liang kuburan. Dengan satu juru kunci menunggu yang mati datang bergiliran.
Kota demi kota ditumbuhkan matahari. Bertebaran semacam musim mudik lebaran. Menenggak minuman beraroma spiritus. Sempoyongan terjatuh di kakus. Kepala terlebih dahulu berdebum. Kakinya tersangkut di selokan, tempat air bersih berstatus almarhum.
Kota bukan taman bunga tentu saja. Wangi kemangi adalah perihal langka.
Bagaimana dengan desa-desa? Apakah masih ada adab di sana?
Entahlah! Televisi terlalu sering menyaru sebagai peri baik hati. Iklan-iklan berhamburan menyamar sebagai kawan. Gawai dalam genggaman begitu rekat. Menggantikan tempat Malaikat pencatat.
Lalu di mana sawah, bukit dan sendang yang dulunya tempat para pendulang kebaikan membasuh keringatnya dengan cara berjumpalitan. Apakah telah punah menjadi sejarah, atau sekedar terlupakan karena diputuskan zaman menjadi pihak yang kalah?
Bisa jadi! Kabut sekarang cuma hamparan selimut mati. Embun kini hanya kotoran mata pagi. Wajahnya lusuh. Tatapannya keruh. Diaduk peluh peradaban yang begitu cepat runtuh. Lumpuh!
Bogor, 16 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H