Apabila malam ternyata berlaku khianat. Â Memakamkan sunyi yang tak pernah menua. Â Di dalam pusara tak berjendela. Â Tiada upacara. Â Tanpa bunga-bunga. Â Sesungguhnya itu semua atas perintah waktu. Â Menyelamatkan pendulumnya yang nyaris saja terpaku. Â Pada satu angka yang dianggap sakral. Â Di situlah terjadi banyak ritual. Â Cara-cara menghindarkan diri dari kerinduan yang brutal.
Sunyi adalah kebisingan tak bersuara. Â Mengendap-endap di ruang kepala tak berpenjaga. Â Mengincar satu babak drama yang tersimpan di sana. Â Berjudul "meski Tuhan menyiapkan semua secara sederhana, namun aku memilih rumit sebagai caraku menguatkan pinta"
Rasanya tak ada puisi paling sunyi yang sanggup meredakan kegaduhan. Â Sekalipun genderang memulakan perang dibunyikan. Â Di setiap kata-kata yang dibariskan sebagai pasukan. Â Tetap saja sunyi adalah raja diraja. Â Atas nama kerajaan yang disebut negeri tanpa koma. Â Hanya ada satu titik yang bertahta dan mengakhiri keseluruhan hikayatnya.
Pada setiap sunyi yang tersesat di belantara makna, tak mungkin ada pura-pura yang sanggup direka agar luka baru mencari tempatnya sendiri. Â Di dalam hati, atau pada mimpi yang selama ini dicari-cari.
Bogor, 16 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H