Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Ini Cerita Senja Berikut Temaramnya

3 September 2018   19:23 Diperbarui: 3 September 2018   21:24 1545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pixabay)

Warna senja itu sekilas seperti hawa amarah yang baru saja reda.  Merah suam-suam kaca.  Laksana pipi seorang dara ketika disuapi cinta pertama.

Lama kelamaan memudar ditelan kabut.  Turun dengan lembut.  Merengkuh tanah-tanah basah.  Di kaki rumpun bunga yang lamban merekah.

Memang bukan waktunya.  Bunga adalah duta bahagia bagi mata.  Dimekarkan pagi.  Ditumbuhkan keluasan hati.

Senja menumbuhkan hal lainnya.  Temaramnya adalah ruang tunggu yang ditata sempurna.  Bagi terbangnya doa-doa.  Menguar ke angkasa.  Menemani bintang-bintang yang kesepian.  Di aula langit yang berantakan.

Cerita senja diturunkan turun temurun.  Sebagai pengantar tidur anak-anak yang kini dijejali banyak kisah majnun.  Dari permainan di gawai yang diperankan para lanun.  Mengingatkan mereka.  Jangan pernah lupa pada waktu apa mereka seharusnya berdoa.

Ini sedikit saja cerita mengenai senja.  Sebelum malam datang dengan matanya yang buta.  Meneriakkan kegelapan.  Menjeritkan kesunyian.  Seperti dongeng-dongeng dahulu kala.  Saat Malin Kundang membatu di tubuh arca.

Bogor, 3 September 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun