Peradaban semakin mengeras. Urat-urat syarafnya kebas. Tak lagi perasa. Terhadap anak-anak zaman yang berlarian tunggang langgang. Diburu waktu yang tak kenal kata berhenti. Teruslah berlari! Atau aku akan memenggal asamu terhadap mimpi!
Tahun demi tahun bertindak sebagai penyamun. Mencegat di jalanan dengan sangkur berkilat-kilat. Menghentikan apa saja yang tak sanggup lagi menelan pedasnya hari. Aku tikam keinginanmu hingga mati jika kau tak segera membenahi caramu berdiri di hadapan matahari!
Hari demi hari bertingkah murung. Tak ada lagi istilah beruntung. Bagi orang-orang yang duduk diam mematung. Hilang sudah kisah tentang dewi fortuna. Itu hikayat lama yang menua dengan sendirinya.
Jam demi jam berkejaran dengan hujan. Mana yang lebih dulu sampai di garis terdepan. Berhadapan dengan kemarau dan kekeringan. Siapa yang paling juara menunda amukan badai, lalu memetakan kedalaman ngarai. Siapapun itu. Dua-duanya tetap harus berserah kepada waktu.
Menit demi menit menggaris horison langit. Menunggu kedatangan bulan dan mempersilahkan malam agar berkenan menyampaikan berita pahit. Purnama masih lama. Jangan berharap banyak terhadap turunnya cahaya. Gantunglah pelita setinggi-tingginya. Atau kau akan tersesat di labirin yang dirumitkan mata.
Detik demi detik meracaukan keadaan di mana perjalanan kerapkali harus singgah di tempat-tempat yang mengerikan. Padang gurun yang mengancam. Gunung-gunung dengan kabut yang menghitam. Sungai-sungai yang berjeram. Dan lautan berkarang yang berbagai sisinya begitu tajam.
Dan waktu lalu memandu kita semua menuju satu titik temu. Tempat orang-orang yang hanyut di derasnya peradaban berkumpul dan termangu. Mencari tahu bagaimana semestinya menyetir peradaban. Bukan justru terbawa arus zaman yang berlompatan. Tak karuan.
Jakarta, 20 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H