Tak butuh waktu lama. Â Kerajaan kenangan dihancurkan. Â Melalui pertemuan. Â Setelah sejarah memutuskan, untuk mengabaikan perpisahan.
Puing-puingnya berserakan. Â Jika dulu bernama duka, maka kini berwujud airmata. Â Menggelindingkan bulir-bulir bening. Â Merangsek di setiap sudut hening. Â Menyajikan panorama bermosaikkan drama.
Jejak airmata lalu dikumpulkan. Â Dalam satu pinggan. Â Untuk perjamuan pagi. Â Semua tahu pagi sangat membutuhkan mimpi. Â Untuk mengakhiri apapun yang dinamakan elegi.
Puing-puing duka disatukan. Â Menjadi satu tanda mata. Â Berornamen pergantian masa. Â Yaitu waktu yang dicuri oleh perompak rindu. Â Dikembalikan dalam bentuk sunyi yang dibekukan masa lalu.
Jejak airmata digunakan sebagai penunjuk jalan. Â Ke arah mana hujan akan bertempiasan. Â Di situ puing-puing kenangannya menggenang. Â Berikut sisa kerajaannya yang centang perenang.
Istana pasir di pesisir yang terus menerus diguyur gelombang air. Â Bisa dibangun asalkan tak lupa pada takdir. Â Dengan tinta apa dituliskan. Â Pada bab apa kisah ditamatkan.
Tentu saja. Â Bukanlah satu pinta yang semena-mena. Â Jika jejak airmata di puing-puing duka. Â Ditata oleh waktu yang berusaha untuk berbahagia.
***
Bogor, 18 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H