Malam berlari lintang pukang. Â Dikejar cahaya remang-remang. Â Ribuan kunang-kunang memulai perjalanan. Â Menabur titik-titik api di setiap perhentian. Â Pada tubuh kegelapan.
Ini bukan perjalanan biasa. Â Ini adalah perjalanan menyalakan ingatan. Â Hitam tak selamanya kelam. Â Gelap tak selalu lebam. Â Pekat bukan berarti semuanya telah tenggelam.Â
Seperti janji kepulangan purnama. Â Kepada hari kelimabelas yang selalu menunggunya dengan setia. Â Itu ingatan terdalam yang mesti dinyalakan agar malam tak lagi terlihat biasa.
Seperti sumpah pelepah yang patah di pinggir pantai yang tertidur. Â Ini kepergiannya atas perintah umur. Â Selalu ada pelepah baru bagi pokok nyiur. Supaya buah yang berjatuhan kelak tetap berair seranum pujangga bertutur. Â Bukan sekedar fosil tua yang ditemukan terkubur.
Seperti penantian kabut terhadap waktu yang berangin. Â Dilahirkan dalam dingin. Â Menyelimuti sunyi. Â Menunggu pagi. Â Agar dapat menyegarkan kembali embun-embun yang sehari mati.
Begitu pula hikayat perjalanan kunang-kunang. Â Berjanji mentaati megahnya malam. Â Menyusur keheningan lembah, ladang dan sawah. Â Meniti pematang, dangau dan rumah. Â Bersumpah atas nama cahaya. Â Memberi terang bagi siapa saja yang terjebak gulita dalam hatinya. Â Menyelesaikan penantian panjang jalan setapak yang dilupakan. Â Untuk kembali dilewati saat pulang. Â Menuju tempat yang disebut tujuan.
***
Bogor, 18 Agustus 2018 Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H