Aku sudah menduga. Â Anak sungai airmatamu, akan bertukar tempat dengan birunya langit yang merata. Â Begitu kau menyiangi ilalang dengan kerlingan. Â Penuh kedukaan.
Kau tersambar tajam lengannya. Â Ilalang itu mencoba merengkuhmu sebagai boneka. Â Boneka yang dianyam dari ringkihnya jerami. Â Namun jelas berasal dari kekuatan padi yang marwahnya menghidupi.
Karena kau berniat melabur langit senja. Â Tentu saja airmatamu serupa jingga. Â Namun jika kau merubah keinginanmu untuk menaburi langit pagi. Airmatamu akan menjelma menjadi sunyi. Â Tak salah jika kau akan dikuntit banyak sekali burung yang hendak bernyanyi.
Burung-burung itu sudah dilatih para maestro symphoni. Â Jadi, jangan heran kalau kau akan terperangah sampai memutuskan bahwa itu hanyalah mimpi. Â Bunga tidur yang dimekarkan oleh hujan ilusi. Â Padahal tentu saja bukan. Â Kau benar-benar dihibur oleh suara-suara menghanyutkan. Â Seperti suara tawa bayi di saat sang ibu tergolek kelelahan. Â Dan itu bukan tangisan.
Jika kau merasa letih. Â Karena tak henti berupaya melabur langit dengan gigih. Â Aku akan beristirahat sejenak. Â Memandangi separuh bulan yang nampak. Separuhnya lagi sudah kau tutupi dengan deru airmatamu yang menghentak-hentak.
Jakarta, 13 Agustus 2018
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H