Di sebuah pemukiman sepadat sarang rayap. Â Kaki-kaki kecil berlarian. Â Menembusi gang demi gang. Â Seukuran emperan. Â Di tangan mereka berkibaran. Kain lusuh berwarna darah dan putihnya awan. Â Darah yang mengaliri teriakan mereka; merdeka! Merdeka! Â Putih yang membentuk tulang pada tatapan mereka; merdeka! Merdeka!
Anak-anak itu tak berhenti berlari. Â Dari mulut gang sesempit kuburan, lalu muncul di muara gang selebar selangkangan. Â Tak berhenti pula mata mereka menyayat udara di depan. Â Menyiratkan rasa bangga dan penghormatan tinggi kepada pahlawan. Â Orang-orang yang membebaskan udara yang mereka hirup sekarang.
----
Di sebuah perumahan mewah dengan rumah-rumah seluas istana. Â Tempat para pejabat, penjilat dan penjahat duduk manis di hadapan sepiring roti manis dan anggur mahal. Â Menyicip setiap irisnya, menyecap setiap tetesnya, dari negeri yang mereka perdagangkan sebagai sundal. Â Merah putih berkibar gagah di halaman megah. Â Sebagai tanda bahwa mereka juga memperingati. Â Bahwa sampai tulang sungsum negeri ini pun harus bisa dinikmati.Â
Orang-orang itu tak pandai berlari. Â Tapi mereka sungguh pintar bersembunyi. Â Di balik meja mengkilat buatan Itali. Â Di lipatan celana dan baju yang terjahit rapi. Â Di aneka pewangi yang disemprotkan hampir satu jam sekali. Â Di dalam lemari besi tempat mereka menyimpan segala rupa upeti.Â
----
Sebuah paradoksal massal. Â Bergambar mural di dinding negeri yang dijadikan tumbal. Â Saat sebagian orang meneteskan airmata. Â Ketika mendengar lagu Gugur Bunga. Â Sebagiannya lagi tertawa cekakakan. Â Waktu melihat bunga di layarnya berguguran. Â Itu artinya semakin tinggi saja nilai keuntungan. Tak peduli jika pun harkat diri harus digadaikan. Â Dengan harga recehan.
Jakarta, 5 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H