Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Paradoksal Pewaris Negeri Ini

5 Agustus 2018   17:27 Diperbarui: 5 Agustus 2018   17:58 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di sebuah pemukiman sepadat sarang rayap.  Kaki-kaki kecil berlarian.  Menembusi gang demi gang.  Seukuran emperan.  Di tangan mereka berkibaran. Kain lusuh berwarna darah dan putihnya awan.  Darah yang mengaliri teriakan mereka; merdeka! Merdeka!  Putih yang membentuk tulang pada tatapan mereka; merdeka! Merdeka!

Anak-anak itu tak berhenti berlari.  Dari mulut gang sesempit kuburan, lalu muncul di muara gang selebar selangkangan.  Tak berhenti pula mata mereka menyayat udara di depan.  Menyiratkan rasa bangga dan penghormatan tinggi kepada pahlawan.  Orang-orang yang membebaskan udara yang mereka hirup sekarang.

----

Di sebuah perumahan mewah dengan rumah-rumah seluas istana.  Tempat para pejabat, penjilat dan penjahat duduk manis di hadapan sepiring roti manis dan anggur mahal.  Menyicip setiap irisnya, menyecap setiap tetesnya, dari negeri yang mereka perdagangkan sebagai sundal.  Merah putih berkibar gagah di halaman megah.  Sebagai tanda bahwa mereka juga memperingati.  Bahwa sampai tulang sungsum negeri ini pun harus bisa dinikmati. 

Orang-orang itu tak pandai berlari.  Tapi mereka sungguh pintar bersembunyi.  Di balik meja mengkilat buatan Itali.  Di lipatan celana dan baju yang terjahit rapi.  Di aneka pewangi yang disemprotkan hampir satu jam sekali.  Di dalam lemari besi tempat mereka menyimpan segala rupa upeti. 

----

Sebuah paradoksal massal.  Bergambar mural di dinding negeri yang dijadikan tumbal.  Saat sebagian orang meneteskan airmata.  Ketika mendengar lagu Gugur Bunga.  Sebagiannya lagi tertawa cekakakan.  Waktu melihat bunga di layarnya berguguran.  Itu artinya semakin tinggi saja nilai keuntungan. Tak peduli jika pun harkat diri harus digadaikan.  Dengan harga recehan.

Jakarta, 5 Agustus 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun