Kau gila! Tak mungkin aku menyamakanmu dengan Hyena. Kau adalah padang savananya! Induk semang dari segala perburuan. Sementara aku, pendulang cuaca yang mengumpulkan kemarau dan hujan, pada saat bersamaan. Kelak aku taburkan, dengan cara bergantian.
Begitu kau lengah, kau akan menggigil kedinginan, sekaligus meringkuk kepanasan. Lalu berdoa agar aku datang. Membawakanmu segulung perkamen. Berisi matahari dan musim salju. Agar kau tersembuhkan. Dari ancaman beku dan menjadi abu.
Ini bukan cerita tentang pemangsa dan mangsanya. Ini adalah kisah antara lebah dan sarang madu di pokok Sialang. Ribuan cinta berkumpul di sana. Setelah ribuan kematian dikorbankan, dengan meninggalkan ribuan sengat di altar persembahan.
----
Kau salah! Sungguh gila jika aku menuduhmu sebagai tetesan dari sekumpulan bisa. Kau adalah seutuhnya Kobra! Menarikan keindahan mematikan. Bagi rindu yang terabaikan. Sedangkan aku, pemulung rindu yang berjalan terseok-seok, di gang sempit dan tanjakan curam. Mencarimu yang disembunyikan malam. Menemukanmu, di antara tumpukan puing bulan.
Aku merengkuhmu. Di kedalaman kalbu. Berdiamlah di sana. Selamanya. Tak akan lagi aku berencana mengabutkan cuaca. Ataupun mengaburkan airmata. Karena sesungguhnya kau adalah pendar dari bianglala yang dilahirkan dari rahim cinta, antara ritme gerimis dan percikan cahaya.
Bogor, 4 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H