Menyongsong kedatangan senja, di pinggiran sungai Lala, sungai kecil tempat persinggahan bianglala, serasa menyaksikan sebuah pertunjukan opera.
Pucuk Mahoni saling menggenggam jemari, bersama lesatan terakhir cahaya matahari. Mempersilahkan daun-daun kering Pulai yang berguguran, merenangi aliran Lala yang sedang bersicepat dengan hujan. Jalinan akar Ketapang yang mengangkangi bibir tebing, beramai-ramai mencoba menyisihkan hening.
Sungai Lala riuh dengan rasa syukur. Tubuhnya yang dulu luntur, akibat bertumbangannya pohon-pohon dengan suara mengguntur, kini kembali didandani, cantik kembali.
Sungai Lala mengirimkan berita menggembirakan dari hulu; aku bukan lagi sungai pesakitan, kurus dan penyakitan. Aku menjadi tempat bersarang begitu banyak hewan terbang. Aku dinobatkan sebagai surga bagi ikan-ikan. Aku memetik berbagai kebahagiaan yang dirasakan oleh banyak monyet ekor panjang. Aku adalah sungai yang dilahirkan kembali. Dari rahim kasih orang-orang yang peduli.
Senja di Sungai Lala. Adalah senja terbaik yang pernah ada. Bukan karena serasa di pelataran surga, namun lebih karena kepedulian yang sungguh nyata. Terhadap bumi yang tersayat-sayat luka.
Pekanbaru, 3 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H