Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Keterpencilan yang Mengungkung Kita

27 Juli 2018   20:56 Diperbarui: 27 Juli 2018   20:58 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita disibukkan oleh pertengkaran sehingga lupa untuk saling mengingatkan.  Bunga-bunga di halaman belum disiram.  Debu pada buku belum dibersihkan.  Dan kita sudah berjanji.  Untuk bersama-sama membaca puisi.  Mengenai keterpencilan yang mengungkung kita.  Dari ujung kaki hingga hulu kepala.

Malam ini akan ada pementasan langka panggung purnama.  Tubuhnya akan direndam suram.  Saat matahari saling berjanji dengan bumi.  Untuk berdiri sejajar menghadap semesta.  Dan kita, saling berjanji mengikat kata.  Dalam diam.  Ketika gerhana datang mencengkeram.

Kita mestinya sepakat.  Pada setiap lupa, kita meraup ingat.  Pada setiap tidak seiya sekata, kita bercermin pada ngengat.  Selalu memburu dimana letak cahaya.  Di kedalaman cahaya, kita bisa menjelaskan apa itu gelap.

Lumrah saja.  Bukankah dalam kamus yang kadangkala kita baca, selalu ada pasangan dari setiap kata.  Pasangan yang saling mengingatkan.  Perhatikan ketika putih mengingatkan hitam, di setiap kejadian siang dan malam.  Lihat bagaimana kemarau mengingatkan hujan, untuk berhati-hati dalam membuat genangan, jangan sampai genangan dibuat di padang gurun yang berkerontangan, itu sia-sia bukan?

Oleh sebab itu mari kita bersetuju.  Bagaimana sebetulnya mengartikan rindu.  Tidak usah terlalu rumit.  Karena kerumitan membuat benak kita sakit. Alangkah baiknya jika kita meniru kupu-kupu.  Hidup cuma seminggu, tapi mampu mengharu birukan waktu.

Bogor, 27 Juli 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun