Kita disibukkan oleh pertengkaran sehingga lupa untuk saling mengingatkan. Â Bunga-bunga di halaman belum disiram. Â Debu pada buku belum dibersihkan. Â Dan kita sudah berjanji. Â Untuk bersama-sama membaca puisi. Â Mengenai keterpencilan yang mengungkung kita. Â Dari ujung kaki hingga hulu kepala.
Malam ini akan ada pementasan langka panggung purnama. Â Tubuhnya akan direndam suram. Â Saat matahari saling berjanji dengan bumi. Â Untuk berdiri sejajar menghadap semesta. Â Dan kita, saling berjanji mengikat kata. Â Dalam diam. Â Ketika gerhana datang mencengkeram.
Kita mestinya sepakat. Â Pada setiap lupa, kita meraup ingat. Â Pada setiap tidak seiya sekata, kita bercermin pada ngengat. Â Selalu memburu dimana letak cahaya. Â Di kedalaman cahaya, kita bisa menjelaskan apa itu gelap.
Lumrah saja. Â Bukankah dalam kamus yang kadangkala kita baca, selalu ada pasangan dari setiap kata. Â Pasangan yang saling mengingatkan. Â Perhatikan ketika putih mengingatkan hitam, di setiap kejadian siang dan malam. Â Lihat bagaimana kemarau mengingatkan hujan, untuk berhati-hati dalam membuat genangan, jangan sampai genangan dibuat di padang gurun yang berkerontangan, itu sia-sia bukan?
Oleh sebab itu mari kita bersetuju. Â Bagaimana sebetulnya mengartikan rindu. Â Tidak usah terlalu rumit. Â Karena kerumitan membuat benak kita sakit. Alangkah baiknya jika kita meniru kupu-kupu. Â Hidup cuma seminggu, tapi mampu mengharu birukan waktu.
Bogor, 27 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H