Ini kisah tentang sungai-sungai yang berhenti mengalir. Â Mata airnya tersumbat air liur. Â Menetes-netes dari mulut yang kekenyangan setelah mengunyah kesegaran hutan. Â Perutnya membuncit serupa kepundan matang. Â Tak lama lagi akan meledakkan kekeringan.Â
Lantas sungai-sungai pun berhenti menjadi sungai. Â Memilih menanami diri dengan batu-batu. Â Pilihan yang tidak keliru. Â Bukankah lebih baik memahat tubuh menjadi arca. Â Daripada dilupakan lalu mati merana.
Laut adalah perhentian bukan persinggahan. Â Tak mungkin bisa mengembalikan air ke hulu. Â Lagipula airnya sekarang terlalu berlendir. Â Entah bagaimana cara agar bisa kembali cair. Â Sulit sekali mendaki langit. Â Mencapai awan yang tinggal sedikit.
Hujan menjadi barang mewah. Â Kalaupun turun, berbondong-bondong orang berebut untuk menadah. Â Tak ada sisa merembes ke pori-pori tanah. Â Bumi tak lebih dari lubang besar tempat peradaban menyampah.
Kisah ini tentang sungai-sungai yang tak lagi berair. Â Mata air satu-satunya kini tinggal airmata. Â Menderas bersamaan dengan kerongkongan yang mengeriput kehausan. Â Oh Tuhan, jika tak lama lagi bumi hanya menjadi kenangan yang buram. Â Tolong jangan sebut bahwa ini hukuman. Â Karena semua ini tak pelak akibat lupa ingatan.
Jakarta, 24 Juli 2018