Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Pendulum Kematian

23 Juli 2018   16:42 Diperbarui: 23 Juli 2018   16:40 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Apabila waktu telah memutuskan; tibalah masanya kau kembali pulang. Mengembalikan ruh yang dititipkan sekian lama berselang. Termasuk juga menderma tulang belulang. Bagi tanah asal dulu diciptakan. Maka tak bisa kita menolak. Tak mungkin kita mengelak. Walaupun hanya selisih sebiji jarak.

Jika pendulum jam berhenti di satu angka. Menandakan kedatangan senja. Untuk selamanya. Maka kita sepakat terhadap kejadiannya. Merekam keindahan terakhirnya sambil memejam mata. Tak ada ruang negosiasi. Tak pula disertai permisi. Meski ada satu dua hal yang masih perlu dibenahi. Serta satu dua orang yang mesti dipamiti.

Ketika garis dan warna terputus. Di lukisan diri kita yang belum juga pupus. Itu artinya perjalanan menggambar nasib telah selesai. Semuanya usai.

Manakala kalimat telah menemui titik. Tunai sudah nyawa bertabik. Ucapkan selamat jalan bagi kehidupan. Selamat datang wahai kematian.

Jakarta, 23 Juli 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun