Kau berada di ruang kemudi. Sebuah bahtera yang kau rancang untuk mengarungi luasnya hidupmu. Sekaligus sebuah tempat untuk menavigasi semua jawaban. Atas beberapa pertanyaan yang berlompatan layaknya ikan marlin. Â Itu tergolong pertanyaan berat. Sebab kau harus berjuang beberapa waktu untuk menangkap makna lalu mengepaknya dalam lemari pendingin. Kau bekukan semua karena kau pikir itu berlawanan dengan ingin.
Apabila kemudian kau bertemu badai. Kau dengan mudah bisa melarikan diri. Tapi tak kau lakukan karena mana mungkin berlari menghindar dari kaki sendiri. Lebih baik menghadapinya dengan mata terbuka. Walau bisa saja hujan yang datang mencoba menusuk-nusuk mata.
Tentu ada saat dimana bahteramu berlayar setenang bayi. Tanpa riak, gelombang maupun duri. Hati-hati. Barangkali itu hanya jebakan. Agar kau terlena dan tidur tanpa persiapan. Padahal bisa saja mimpi-mimpi yang senyap berduyun-duyun datang.
Bahtera yang kau bangun dari kekuatan diri belum tentu lebih buruk dibanding menggunakan besi. Musuhmu mungkin rasa patah semangat. Tapi itu bisa kau perbaiki dengan meyakini bahwa kau memiliki hati. Sedangkan besi dan baja akan mudah terserang karat. Kau tak bisa sekedar mengecat lalu berharap semuanya baik-baik saja. Â Kau membutuhkan keajaiban agar bahteramu tak tenggelam dalam palung keputusasaan.
Memang tak pernah ada pilihan yang mudah. Karena jika terlalu mudah maka hidupmu tak lebih dari memisahkan beras dari sisa gabah. Biarkan saja bahteramu menuju tempat matahari rebah. Memang di situlah semuanya menuju. Sesuai dengan perintah waktu.
Jakarta, 3 Juli 2018
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H