Begitu kata seorang begawan yang menuangkan pelajaran pada sebuah cawan. Â Memberi contoh bagaimana hujan ada saatnya mereda meski sangat berbahagia jika menderas selamanya. Â Hilang semua julukan penguasa cuaca apabila terang benderang mengambil alih tahta. Â Hujan tak mau serakah terhadap bahagia. Â Memberi jalan bagi cendawan untuk memekarkan tudungnya. Â Cendawan itu perlu kehangatan cahaya yang hujan tak punya.
Lagi cerita seorang resi yang memberi contoh bagaimana seorang pandai besi memanaskan api untuk menempa tajam belati. Â Dia akan sangat berbahagia jika apinya sepanas kawah gunung api. Â Tapi si pandai besi tak mau berangan serakah karena api sepanas itu hanya bisa lahir dari kepundan. Â Bukan kobaran api dari perapian.
Seorang kyai menatap murid-muridnya sembari membacakan beberapa ayat yang menentramkan hati. Â Sekaligus meneliti seberapa lama muridnya meneteskan airmata bahagia. Â Setelahnya bercerita bagaimana neraka sanggup menelan semua rasa bahagia di dunia. Â Sebulat-bulatnya. Â Oleh sebab itu jangan terlalu serakah terhadap bahagia sehingga lupa pada duka sesama. Â Karena neraka bisa melipatgandakan panasnya. Â Tanpa aba-aba.
Ini akhir kisah tentang bahagia yang sederhana. Â Atas pertanyaan hati yang terluka lalu meminta bahagia.
Jakarta, 23 Juni 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H