Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Hikayat Airmata

7 Juni 2018   00:41 Diperbarui: 8 Juni 2018   07:20 2065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam dirajam kelam. Keping-keping kenangan buram berjatuhan. Melumat seluruh syaraf kepala. Dalam kisah yang disebut hikayat berairmata.

Tokoh yang memerankan cerita adalah mata. Sepasang indera yang terbelalak atau terpejam ketika menatap atau melihat. Rinai hujan yang berhamburan di halaman atau cahaya senja yang tumbang begitu gelap merapat.

Perannya sungguhlah dahsyat. Mewakili iblis sekaligus malaikat. Dengki dan tawakkal bergantian mengisi kornea. Ketika lupa dan ingat adalah skenarionya.

Airmata kemudian menjadi tuhan. Tumpuan atas segala hal yang tak berkenan.  Menerima lalu menyalahkan.

Airmata juga menjadi jurang. Atas nama duka yang tak bisa cepat menghilang. Merayapi dinding tebing keteguhan. Untuk kemudian kembali terhempas tunggang langgang.

Malam yang sepi. Setelah semua suara mendadak berhenti. Adalah waktu yang tepat bagi airmata untuk diakhiri.

Pelalawan, 6 Juni 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun