1) Lengkingan tangis bayi memecah udara yang tubuhnya retak-retak oleh airmata seorang ibu. Ayah bayinya baru selesai dikuburkan. Siapa yang akan meniupkan adzan di telinga? Ibu itu meredam gemuruh di dada. Dengan mengumpulkan pecahan kaca yang berserakan di pipinya.
Bahkan pagi masih memutuskan berkabung. Daun yang biasanya melambai diberati embun, kini tertunduk santun. Bunga yang semestinya mekar, menguncupkan diri sebagai tanda turut berbela kabar. Duka dan sungkawa bagi anak manusia yang belum tahu apa itu adab dan apa itu barbar.Â
2) Seorang bayi tertidur pulas dibuai ketidaktahuan. Di gendongan tangan kekar lelaki berseragam yang menatapnya dengan penuh rasa kasihan; ibumu ada nak. Namun tak bisa menyusuimu karena sedang bertarung dengan prinsipnya. Bayi itu terbangun dengan mata berkaca-kaca. Mendekap erat lengan orang yang menatapnya dengan iba.
Plafon kusam dan dinding buram saksikan peristiwa itu dengan wajah pias. Anak yang tak bersalah terpaksa hanyut dalam pusaran nasib. Berputar tak menentu dalam pupusnya kerinduan dan sulitnya keputusan.
3) Tragedi kemanusiaan selalu mengaduk sunyi. Dua bayi. Di dua tempat yang berbeda. Dengan kisah yang hampir sama. Kehilangan kasih orangtua. Â Oleh sebab-sebab yang sulit dimengerti. Karena semua itu urusan hati dan belati.
Begitu banyak bayi-bayi yang tak bisa memilih di rahim mana tempatnya dititipkan. Terlahir di sebuah peperangan atau di musim kelaparan. Beribu bapa atau hanya salah satunya. Atau tidak kedua-duanya.Â
Begitulah panggung dunia dipentaskan. Dengan skenario rumit bagaimana kelak para pemerannya dihidupkan atau dimatikan. Sesuai garis. Penuh gelak tawa manis. Atau justru teriris-iris dan miris.
Jakarta, 11 Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H