Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dua Bayi dan Tragedi Kemanusiaan

11 Mei 2018   08:07 Diperbarui: 11 Mei 2018   08:42 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi:MAKINTAU.com

1) Lengkingan tangis bayi memecah udara yang tubuhnya retak-retak oleh airmata seorang ibu. Ayah bayinya baru selesai dikuburkan. Siapa yang akan meniupkan adzan di telinga? Ibu itu meredam gemuruh di dada. Dengan mengumpulkan pecahan kaca yang berserakan di pipinya.

Bahkan pagi masih memutuskan berkabung. Daun yang biasanya melambai diberati embun, kini tertunduk santun. Bunga yang semestinya mekar, menguncupkan diri sebagai tanda turut berbela kabar. Duka dan sungkawa bagi anak manusia yang belum tahu apa itu adab dan apa itu barbar. 

2) Seorang bayi tertidur pulas dibuai ketidaktahuan. Di gendongan tangan kekar lelaki berseragam yang menatapnya dengan penuh rasa kasihan; ibumu ada nak. Namun tak bisa menyusuimu karena sedang bertarung dengan prinsipnya. Bayi itu terbangun dengan mata berkaca-kaca. Mendekap erat lengan orang yang menatapnya dengan iba.

Plafon kusam dan dinding buram saksikan peristiwa itu dengan wajah pias. Anak yang tak bersalah terpaksa hanyut dalam pusaran nasib. Berputar tak menentu dalam pupusnya kerinduan dan sulitnya keputusan.

3) Tragedi kemanusiaan selalu mengaduk sunyi. Dua bayi. Di dua tempat yang berbeda. Dengan kisah yang hampir sama. Kehilangan kasih orangtua.  Oleh sebab-sebab yang sulit dimengerti. Karena semua itu urusan hati dan belati.

Begitu banyak bayi-bayi yang tak bisa memilih di rahim mana tempatnya dititipkan. Terlahir di sebuah peperangan atau di musim kelaparan. Beribu bapa atau hanya salah satunya. Atau tidak kedua-duanya. 

Begitulah panggung dunia dipentaskan. Dengan skenario rumit bagaimana kelak para pemerannya dihidupkan atau dimatikan. Sesuai garis. Penuh gelak tawa manis. Atau justru teriris-iris dan miris.

Jakarta, 11 Mei 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun