Ketika gamelan bersuara lembut memenuhi udara siang yang menyengat. Luruh semua keringat yang menetes panas menjadi butiran-butiran embun penyejuk hati. Gamelan memang selalu membalut diri dengan keindahan pagi. Tak mungkin dipungkiri.
Ketika sinden mendendangkan tembang dengan nada tinggi saat keheningan dibekap oleh riuh rendah langkah kaki, semua gelisah lalu runtuh begitu saja tanpa perlu dialog dan kata-kata. Tanda takluk kepada bening dan ketulusan jiwa yang melebur dalam makna nyanyian yang diciptakan semenjak dahulu kala. Waktu para nayaka adalah bagian dari keseimbangan antara damai dan perang terbuka.Â
Ketika para penari mulai berlutut dan memberikan sembah kepada sosok yang dulu menjadi empu tarian mereka, angin mendadak berhenti. Memberikan waktu secukupnya bagi seluruh alam untuk khidmat dan menghormati betapa dalamnya sebuah tarian diciptakan.
Sunyi runtuh dengan cepat. Gamelan menandainya dengan alunan nada lambat. Para sinden bersimpuh menyampaikan bait demi bait amanat. Sedangkan para penari menerbangkan selendangnya untuk menyatakan bahwa jarak langit dan bumi begitu dekat. Tak perlu ada rusuh di antaranya. Apalagi jika itu berbicara mengenai sejarah, cinta dan manusia.
Sampit, 27 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H