Hujan memainkan not-not balok bernada major yang terdengar begitu gagah sampai-sampai malam menghentikan kegelapan untuk sekedar mendengarkan. Â Dengan seksama. Â Memastikan apakah ada ajakan untuk tertawa. Â Di atas sana langit begitu murung. Â Memperlihatkan wajah sendu terkurung mendung.
Memang tinggal gerimis. Â Tapi iramanya yang ritmis mengiris tak habis-habis. Â Menyuarakan kesunyian. Â Bertempiasan di bibir pelataran. Â Memperingatkan akan kesendirian. Â Bagi sebagian orang yang kehilangan jejak kenangan. Â Terhapus aliran air yang meluncuri jalanan dan selokan.
Jika nanti gerimis ini berhenti. Â Menyisakan nada-nada ringan tentang sepi. Â Wajah langit niscaya membias terang. Â Siap kembali berbicara tentang bintang-bintang. Â Atau mungkin kunang-kunang yang tersesat jalan. Â Atau bisa juga bulan yang berkeliaran sendirian.
Apabila gerimis bertahan semalaman. Â Itu tanda kebahagiaan sedang dibagi-bagikan. Â Bagi keringnya hati. Â Bagi tanah yang nyaris mati. Â Bagi halaman yang ingin melatinya berbunga esok hari. Â Bagi remang-remang yang berdoa sekuatnya agar pagi datang tepat waktu menyinari.
Bogor, 21 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H