Beberapa kalimat sederhana tiba-tiba mengangkasa di malam yang memutuskan untuk jumawa. Â Dibawa hujan dalam bentuk kata-kata; aku tidak tahu ini tapi aku tahu itu, dan aku mendengar ini tapi aku tuli terhadap itu.
Sungguh. Â Ini ibarat gagu yang dipamerkan pada lomba aneh berteriak sekencang-kencangnya. Â Tentu saja tidak akan menjadi calon juara.
Hujannya terlambat sampai di bumi. Â Tapi petirnya datang mendahului. Â Mematahkan tajuk nira dan melubangi kepala-kepala yang berisi lava.
Panas lalu membanjir kemana-mana. Â Meletupkan nyala api di hari yang setiap saat kehujanan. Â Negeri ini diguncang gempa kecil akibat puisi yang ditulis dengan ketergesaan.
Untuk apa rupanya. Â Memancing kegaduhan yang tak perlu demi sebuah orasi menjemukan. Â Bangsa ini mudah tersulut. Â Seharusnya jangan gampang bicara luput. Â Itu sama saja dengan menawarkan kabut di tengah jalan gelap yang membuat sopirnya kalang kabut.
Bagaimana jika puisimu ternyata memang sengaja diasah. Â Untuk menyembelih kebersamaan agar nampak semua perbedaan; Â Mungkin kau tak tahu itu karena kau hanya tahu yang ini. Â Kau hanya membaca yang itu tapi kau lupa bahwa yang mendengar adalah telinga yang ini.
Bagaimana jika ternyata puisimu memang sebilah belati. Â Tajamnya ada di dua sisi. Â Membelah sana menyayat sini. Â Ujungnya ditusukkan ke jantung negeri yang sedang berusaha keras membangunkan mimpi.
Jakarta, 3 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H