Malam begitu istimewa. Â Saat kau mencampurkan remah cahaya dengan satu sendok gula. Â Mengaduknya dalam cawan tipis. Â Kau umumkan bahwa itulah rasa manis.
Kau cicip seteguk sambil bertabik pada purnama yang mengintip di kejauhan. Â Aku mengantuk katamu. Â Tapi aku tak mau kehilangan sedikitpun kesempatan untuk bersirobok mata denganmu.
Malam kemudian menaiki tangga yang disediakan waktu. Â Pukul sepuluh. Â Saatnya menuliskan warna ungu bunga Teleng. Â Di situ ada cerita tentang perempuan tangguh yang tak takut lagi menggeleng.
Suara gemericik air. Â Memecah kebisuan dinihari. Â Pukul dua. Â Saatnya berjabat hati. Â Dengan Sang Peniup Arwah yang selalu terjaga. Â Atau pura-pura lupa pada orang-orang yang mengingatNya.
Suara burung hantu. Â Menyatu dengan hening yang memekakkan telinga. Â Bukan guntur maupun dengkur. Â Bagi yang mau mendengar dengan jiwa. Â Bukan untuk mereka yang cuma berharap mendengar kabar gembira.
Percikan cahaya. Â Membentuk dirinya semakin utuh. Â Dikumpulkan separuh demi separuh. Â Oleh matahari yang peduli pada bulan. Â Agar tak selamanya mengintip dari kejauhan.
Sampit, 25 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H