Buatkan aku sebuah puisi, katamu waktu itu tak sabaran. Â Kau berdiri memandangiku dengan tekun. Â Sementara aku duduk di pasir dengan kikuk. Â Menggerak-gerakkan pulpen yang aku pinjam darimu. Â Di sehelai kertas yang sudah penuh coretan.
Pantai sedang tenang. Â Tak ada gelombang. Â Kebetulan hari itu memang cerah. Â Kebetulan yang menyenangkan sebenarnya. Â Aku bisa mempunyai alasan untuk mengajakmu melihat seekor ikan aneh yang bisa berjalan di daratan. Â Entah apa namanya. Â Tapi kau nampaknya terpesona dengan bualanku tentang ikan itu.
Aku ingin berlama-lama denganmu di pantai itu. Â Tapi senja memang tak pernah basa basi. Â Jika saatnya tiba untuk menenggelamkan cahaya, tak perlu lama untuk mendatangkan gelap. Â Mau tak mau aku beranjak sambil menyerahkan puisi yang kutulis tadi.
Kau tetap berdiri. Â Sekarang tak lagi pedulikan aku. Â Kau membaca puisi itu dengan seksama. Â Aku sempat berpikir kau sedang bersemedi dan mengira puisiku itu adalah bagian dari mantra-mantra. Â Aku menjadi geli sendiri. Â Tapi tak berani tertawa. Â Belum apa-apa nanti malah kau membenciku. Â Padahal jelas sekali aku sudah mulai jatuh cinta padamu.
Sebab apa ya? Sebelum aku dan kau pergi ke asrama masing-masing, aku mulai menelisik dirimu. Â Kau memang cantik dan menarik. Â Tapi apa keistimewaanmu yang membuatku begitu tertarik?
Aku tidak berani memandangimu berlama-lama. Â Lagi-lagi aku takut kau nanti memalingkan muka. Â Menganggapku lelaki yang sama dengan lainnya. Â Padahal aku memang tak berbeda.
Sudahlah! Â Nanti saja aku lanjutkan menerka apa sebabnya aku mulai jatuh cinta. Â Aku akan merenung. Â Menggali sebab demi sebab. Â Malah mungkin tidak sama sekali. Â Karena aku tahu jatuh cinta itu memang sebuah misteri.
Perjalanan waktu menunda semua pertanyaan. Â Aku mengembarakan kaki dan pikiranku kemana-mana. Â Aku lupa mencari sebab kenapa aku jatuh cinta. Â Tapi aku tetap jatuh cinta. Â Itulah kali pertama dan sesuai dengan petuah yang aku anut tentang cinta, kali terakhir juga. Â Aku menduga aku kelak akan mencarimu. Â Berikut semua sebab-sebabnya.
-----
Waktu memang tidak bisa dinegosiasi sama sekali. Â Tahun demi tahun menelannya secara teratur. Â Aku kembali ke kota dimana aku pernah menggadaikan anganku dahulu. Â Aku mulai mencarimu. Â Aku mau mengaku. Â Cinta itu tak pernah luntur sedikitpun. Â Setiap hari bahkan sibuk bertutur. Â Carilah sebab kau jatuh cinta sebelum nanti kau mati dan jadi hantu gentayangan. Â Menurutku tuturannya cukup mengerikan!
Aku memang mencarimu. Â Aku cari di antara lusinan gerbong kereta yang mondar mandir setiap hari. Â Siapa tahu kau ada di antara para wanita yang sibuk berlalu lalang menaklukkan ibukota. Â Aku cari di setiap tayangan televisi. Â Siapa tahu kau sedang mengiklankan pengumuman mencariku. Â Aku cari di pagi yang sibuk menepis mimpi. Â Aku cari di senja yang lupa bagaimana cara mencairkan warna merahnya. Â Kau tak ada. Â Kau tak ketemu.
Mungkin aku kurang giat mencari. Â Atau barangkali peruntunganku hanya sedikit. Â Tapi sembari mencari tiada henti, aku perlahan-lahan mengerahkan kemampuan kenanganku untuk mencari sebab mengapa aku jatuh cinta kepadamu.
Aku sampai pada suatu titik kesimpulan. Â Aku jatuh cinta sebab tiada sebab. Â Karena kalau memakai sebab maka cintaku banyak memiliki syarat. Â Buktinya hingga hari ini aku masih merasakan cinta yang sama. Â Itu artinya aku jatuh cinta seketika. Â Bukan karena sebab apa-apa.
Di titik kesimpulan ini aku lega. Â Aku sudah menemukan sebabnya. Â Tinggal mencarimu, bertemu denganmu lalu berterus terang apa sebabnya aku jatuh cinta kepadamu. Â Itupun kalau kau mau tahu.
Jakarta, 19 Maret 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI