Ruangan itu adalah ruangan di mana tangisan dan caci maki berkumpul.Â
Begitu pintu dibuka dan ranjang yang membawa sebujur tubuh kaku berselimut putih didorong masuk, meledaklah tangisan orang-orang yang merasa kehilangan. Â Menggerung-gerung tak karuan. Â Dalam hati mereka yang menangis, bagaimana aku bisa hidup tanpamu. Â Dalam hati tubuh kaku itu, Â barangkali mati malah membebaskanku.
Tak jauh waktunya dari jenazah pertama, jenazah kedua dibawa masuk oleh petugas yang sama. Â Lelaki berwajah tirus dengan muka pucat. Â Barangkali sama pucatnya dengan mayat yang berjajar di dalam. Â Datar. Â Sedatar meja marmer tempat autopsi ruang sebelahnya.
Sebelum sempat masuk ruangan. Â Serombongan orang berlarian mengejar jenazah kedua.
"Bajingan!"
"Pembunuh tak berhati. Â Mampuspun rasanya masih ingin kubunuh!"
"Bangsat seperti itu mati berapa kalipun aku tidak rela!"
Rupanya jenazah kedua adalah jenazah seorang pembunuh. Â Mati ditembak polisi ketika mencoba melarikan diri saat ditangkap. Â Orang-orang yang berteriak tidak terima adalah keluarga korban yang dibunuhnya.
Setelah orang-orang kalap itu berhasil dihalau oleh petugas keamanan, suasana berubah tenang. Â Petugas kamar jenazah memasukkan jenazah ke dalam. Â Masih dengan muka pucat dan datar. Â Menunggu telepon untuk menjemput jenazah berikutnya.Â
Hari ini hanya ada dua. Â Dia butuh paling tidak lima supaya muka pucatnya menjadi ceria. Â Dia sangat menyukai kematian.
-----