Segelas anggur terhidang di malam yang menutup dirinya terhadap cahaya. Â Anggurnya dipetik langsung dari bibir wanita semerah perasan saga. Â Terucap bisikan pelan dan isakan terbata-bata; jadikan aku tetesan hujan dan bunga. Â Selama ini aku hanya air keruh di selokan.
Keluar jeritan sekuat mangsa di sudut jalan segelap gua. Â Dari sesosok wanita yang melacurkan diri demi anak-anaknya. Â Jeritan dari batin terluka. Â Menunggangi udara yang membeku karena iba.
Sekelompok anak gadis meringkuk di pojokan kapal yang membuang sauh di lautan teduh. Â Di dalam kerangkeng rapat berjeruji besi. Â Menunggu para pembeli datang berduyun-duyun. Â Besok mereka diperdagangkan tak ubahnya cabai.
Perempuan dari desa terjebak dalam kepungan kota. Â Kemudian para bajingan menawarkan ranjang empuk berbayar dan lipstik mahal. Â Lalu menggadaikan setiap lekuk tubuhnya bagi paruh nazar dan taring hyena.Â
Penghakiman diketuk menggunakan palu gada dan kutukan sekencang dukun zaman pertengahan; Â kalian hina!
Pengadilan tanpa pembela. Â Tak peduli kisah sebenarnya. Â Betapa tangisan mereka berjatuhan laksana hujan dari hati mereka yang terbuang. Â
Jakarta, 14 Maret 2018
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H